Parpol dan Pengkhianatan Elite Politik Terhadap Rakyat

0

ADALAH Colin Hay (2007) penulis buku Why We Hate Politics menguraikan secara gamblang, ketika panggung politik hanya melayani rasionalitas kepentingan pragmatisme personal elite-elite politik, perilaku politik tersebut akan menghasilkan struktur irasionalitas kolektif.

RAKYAT tidak akan pernah ditempatkan sebagai bagian proses politik, tetapi sekadar hanya menjadi obyek dan manipulasi dan kalkulasi-kalkulasi eksploitasi dan manipulasi kepentingan segelintir elite politik. Saat rakyat secara pelan-pelan dewasa dalam berpolitik, partai-partai politik yang masih berkarakter feodalisme, irasionalisme,  oligarki-kartel dan korup, pelan-pelan akan kehilangan dukungan di mata rakyat.

Perkembangan politik mutakhir, menguatnya patronase politik dan oligarki kekuasaan semakin memunculkan sikap skeptimisme dan pragmatisme rakyat dan elite partai. Elite partai tidak memiliki komitmen kuat membangun jejaring akar rumput untuk mengkonsolidasikan antara mesin partai dengan aspirasi rakyat. Terkait hal tersebut bila diamati perkembangan demokratisasi di tingkat lokal adalah semakin berkembangnya patronase politik di tingkat lokal.

Pejabat daerah seringkali menguras atau mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan daerah melalui jaringan bisnis-politik dengan pola-pola predatoris. Perilaku tersebut tujuannya adalah dalam rangka melanggengkan kekuasaan politik dan mengakumulasi kekayaan ekonomi sembari berlindung di balik regulasi dan institusi kekuasaan.

Secara teoritik, patronase politik merupakan konsep kekuasaan yang lahir dari  hubungan yang tidak seimbang antar patron dan klien (Scott, 1972). Patron adalah seorang yang memegang kekuasaan, sementara klien sebagai pengikut setia yang mematuhi aturan-aturan patron. Hal ini dapat dianalogikan bahwa patron adalah majikan (bos) dan klien adalah anak buah (bawahan). Seiring perkembangan politik modern, sangat sulit memisahkan antara politisi sebagai aktor politik dengan birokrasi. Hal ini karena aktor politik tidak hanya bertindak sebagai aktor pembuat kebijakan tetapi juga melakukan penetrasi dalam wilayah birokrasi (Leo Agustino, 2014).

Relasi kuasa yang krusial antara antara politisi dan birokrasi  menjadi pintu masuk terjadinya jaringan patronase politik. Coba diamati, kepala daerah sering kali lebih bersikap sebagai politisi dari pada kepala birokrasi yang memberikan kebijakan pelayanan kepada rakyat. Oleh karena itu, pengadaan proyek-proyek pembangunan dan infrastuktur lainnya tidak lebih lebih bagi-bagi keuntungan bagi kepala daerah dan kroni politiknya.

Lihat saja, birokrasi dimanfaatkan sebagai bagi-bagi jabatan kepada para loyalis dan kroni politik (klien). Akibatnya, birokrasi tidak efektif karena penempatan jabatan tidak berdasarkan asa meritokrasi atau kapabilitas, profesionalisme, melainkan berdasarkan hubungan personal atau kedekatan antara patron dan klien. Ironisnya, para pejabat birokrasi pada akhirnya menjadi jongos atau kaki tangan kepala daerah dari pada menjadi pelayan publik.

Kepala daerah misalnya, menjadi klien setianya bupati, walikota atau gubernur dengan cara membayar upeti dari hasil-hasil proyek. Tujuannya adalah untuk mengakumulasi kekuasaan politik dan ekonomi demi menumpuk kekayaan. Pelayanan terhadap rakyat yang seharusnya menjadi prioritas berubah menjadi pelayan bagi sang patron. Pejabat yang melakukan pernolakan atau pembangkangan terhadap kepala daerah (patron) sering kali mendapat hukuman berupa mutasi yang tidak profesional.

Penguasaan terhadap struktur ekonomi-politik daerah dilakukan melalui kapitalisasi birokrasi. Kepala daerah sebagai pimpinan tertinggi dalam birokrasi sering kali mengakumulasi sumber daya ekonomi dan politik melalui mesin birokrasi untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan yang oleh Allison (1878) disebut bureaucratic politic, yaitu birokrasi yang dikuasai oleh kepentingan-kepentingan politik.

Menurut Geddes (1994), kapitalisasi birokrasi oleh kepala daerah karena adanya kepentingan. Pertama, mesin birokrasi menjadi sumber keuntungan ekonomi (source of economic advantange) yang dibagi kepada konstituen dan kroni politik pejabat daerah. Kedua, birokrasi dijadikan lahan patronase antara kepala daerah dan pejabat di bawahnya. Ketiga, kepala daerah menjadikan birokrasi sebagai sumber untuk menjaring anggota-anggota baru dalam organisasi politik.

Hal ini sebagai strategi untuk membangun basis massa dan memperluas jaringan patronase politik dengan cara merekrut atau mengumpulkan loyalitas baru untuk kepentingan kekuasaan politik.  Keempat, birokrasi dijadikan sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan yang menguntungkan kelompok-kelompok kepentingan dan kroni bisnis dan politik. Kapitalisasi birokrasi ini dapat mendukung kepentingan ekonomi-politik kepala daerah demi melanggengkan kekuasaan.

Kapitalisasi birokrasi juga dilakukan untuk memaksimalkan kemungkinan-kemungkinan untuk kepentingan politik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk periode berikutnya. Misalnya, berbagai bentuk pelayanan seperti distribusi dana bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, sekolah, pelayanan kesehatan, dimaksudkan untuk investasi politik pada pilkada berikutnya. Kebijakan pembangunan tidak lagi sebagai political will yang tulus demi pemerataan pembangun, tetapi sekadar demi kalkulasi kekuatan politik demi pemilu berikutnya. Kapitalisasi birokrasi telah memberikan ruang kesempatan bagi berkembangnya patronase polutik di daerah.

Kepala daerah dengan mudah mendistribusikan proyek-proyek  dan membentuk formasi kepagawaian kepada pendukung politik dan tim sukses serta kroninya untuk memperluas jaringan ekonomi-politiknya dalam birokrasi. Misalnya, untuk mendapatkan proyek, mendapatkan akses kepada birokrasi. Menurut Gerry Van Klinken dalam AE Priyono, 2014 menyebutkan, runtuhnya kekuasaan rezim oligarki Orde Baru 1998 ternyata tidak meruntuhkan kekuasaan oligarki warisan Orde Baru yang berlangaung massif di daerah.

Beberapa kroni politik Soeharto yang kehilangan akses politik di Jakarta, justru membangun kekuatan bisnis dan politik baru di daerah dan berkolaborasi dengan penguasa daerah. Para birokrat didikan Orde Baru juga mengambil alih politik setelah era otonomi daerah berlangsung. Cara politik dimainkan menyerupai gaya politik Orde Baru, yaitu mengkapitalisasi birokrasi sebagai basis kekuatan politik dan ekonomi. Dinamika perkembangan politik mutakhir di tingkat lokal sebagai New-Orde Baru. Era reformasi politik yang dikendalikan melalui cara-cara Orde Baru. Para elite politik lebih sibuk menjalankan hegemoni politik melalui organisais-organisasi kemasyarakatan, keagamaan dan politik identitas.

Praktik kekuasaan yang dilanggengkan melalui patronase politik sejatinya berdampak pada proses demokratisasi yang sedang berlangsung di daerah, akan tetapi justru memunculkan fragmentasi politik, polisentrisme dan basis-basis politik-ekonomi yang dikuasai segelintir orang yang memiliki jaringan dengan penguasa daerah. Model politik seperti ini menjadi problem bagi munculnya partisipasi politik bagi rakyat.

Rakyat selama ini sekadar menjadi obyek politik yang dimobilisasi oleh aktor-aktor politik untuk kepentingan politik tertentu. Secara teoritik,  kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah seharusnya membangkitkan partisipasi politik bagi warga, berubah menjadi struktur kesempatan bagi para elite-elite lokal berpacu memenuhi lobido keserakahan mengakumulasi kekayaaan individu dan para kroni sang penguasa daerah.

Politik anggaran daerah sering diakali demi mencapai tujuan-tujuan busuk para elite lokal. Para pejabat daerah bergaya hedonistik dengan cara menggunakan berbagai fasilitas negara yang ujungnya berakhir di tangan KPK karena praktek manipulatif dan penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power) dan korupsi politik (political corruption) (lihat Kompas, 10/11/2014).

Fakta ini telah mengkonformasi yang pernah diungkapkan oleh Jose Maria de Eca de Queiroz, penulis realis Portugis dalam karyanya Politisi dan Popok Bayi, harus sering diganti karena najis dan menjijikkan. Di level lokal, politis lokal masih mewarisi watak predatoris rezim Orde Baru, bermetamorfosis dan merengkernasi menjadi tetesan Suhato kecil dan bersembunyi dalam rahim desentralisasi, otonomi daerah dan demokratisasi.

Sebagai pembuka di awal tulisan ini, Colin Hay (2007), Why We Hate Politics (mengapa kami membenci politik), semoga tidak mewakili sebuah gambaran buran dinamika perpolitikan di negeri yang mengalami fragmented society, skeptisisme politik publik dan pragmatisme politik, khususnya menghadapi pilkada serentak 2018 mendatang yang menguras triliunan uang negara demi pencarian sebuah makna demokrasi.(jejakrekam)

Penulis : DR M Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAB

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.