Perlawanan Kuli di Tambang Neraka Pulau Laut

0

TAMBANG batubara Sembilimbingan. Nama tambang batubara ini sangat lekat di ingatan orang Kotabaru (Pulau Laut). Dalam catatan historis pada tahun 1903, mulai beroperasi penambangan di wilayah Sembelimbingan, Pulau Laut yang digarap perusahaan tambang Belanda bernama De Steenkolen-Maatschappij Poeloe Laoet. Dengan penanaman modal investor Belanda, tambang batubara terbesar di Pulau Laut mulai berproduksi dan menjelang tahun 1910 telah menghasilkan kira-kira 25% penghasilan dari semua ekspor Hindia Belanda.

SAYANG peningkatan ekspor batubara tidak dibarengi peningkatan kualitas buruh. Wajar jika, pada 1924-1925 mulai muncul perlawanan buruh. Adanya penolakan kerja dengan bentuk-bentuk perlawanan dari para buruh tambang batubara Pulau Laut, telah menggemparkan pejabat-pejabat kolonial Belanda. Mereka akhirnya mulai menyadari kalau disiplin yang dijalankan dengan kekerasan atau dengan hukum cambukan, tidak menaikkan wibawa Kolonial Belanda.

Terbukti para kuli tambang dari waktu ke waktu mulai tidak patuh lagi terhadap pimpinan perusahaan. Hal ini menimbulkan kesadaran bagi Pemerintah Kolonial Belanda bahwa hukuman kekerasan fisik terhadap para kuli tambang tidak menjadikan para kuli takut dan patuh. Justru, hal itu membuat para kuli menjadi berani. Mereka berontak kepada pimpinan perusahaan.

Perlawanan dari para buruh tambang batubara Pulau Laut dibekingi para kuli dari kalangan narapidana yang tergolong jago atau jagau dalam bahasa Banjar. Pejabat kolonial Belanda ini mencatat ada tiga nama terkenal yang dianggap provokator. Mereka adalah Usup, Musa, dan Djabar.

Ketiga orang ini sangat terbiasa dengan kekerasan. Sebagaimana juga banyak kuli napi lainnya, yang menggunakan ilmu kebal dan merasa aman dengan ilmu tersebut. Wajar jika Usup, Musa, dan Djabar, berani berbuat sehendak hati. Akhirnya, hukuman pun mendera. Hukuman cambuk jadi sanksi tegas para penguasa tambang.

Bagi mereka, hukuman pencabukan merupakan hal yang wajar, sebagaimana yang diungkapkan oleh Deibert maupun data dalam Arsip Pertambangan, Arbeiderswoorziening van de Mijnbedrijven VI, A/7, Surat W. Holleman kepada Direktur Pertambangan pada 9 Maret 1927, bahwa kuli-kuli kontrak tidak merasa aman bekerja dalam tambang.

Demikian halnya dalam Laporan Inspektur Perburuhan Noordink tahun 1925, ilmu kebal adalah semacam ilmu yang membuat seseorang kebal untuk dilukai dengan benda-benda tajam, bahkan aman terhadap cambukan-cambukan dengan rotan. Menurut penduduk lokal, buruh paksa tidak merasa takut untuk dihukum dengan cambukan, karena kebanyakan mereka memiliki ilmu kebal.

Suatu keadaan yang membingungkan di Tambang Batubara Pulau Laut adalah ketika kuli-kuli kontrak cenderung melarikan diri atau menolak bekerja. Lambat laun para kuli kontrak belajar bagaimana bekerja dan tetap bertahan di tambang. Selanjutnya mereka terbiasa dengan kondisi yang dihadapi baik keras maupun kasar. Kuli-kuli kontrak yang telah berubah jadi kasar karena harus menghadapi kehadiran para kuli napi, juga cenderung melakukan kejahatan.

Menurut laporan Deibert, pada tahun 1923, terjadi 38 kasus upaya pembunuhan dan penganiayaan, umumnya oleh kuli-kuli kontrak yang sudah bergaul lama dengan kuli napi. Perlakuan para kuli oleh pimpinan perusahaan tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekonomi batubara pada masa itu, seperti harga-harga yang turun di pasar dunia serta persaingan antara berbagai negara penghasil batubara.

Waktu krisis batubara secara internasional teratasi pada tahun 1922 dan harga batubara meningkat pada tahun 1923, pimpinan perusahaan tambang batubara Pulu Laut melihat kesempatan. Mereka ingin meraih keuntungan dengan menghasilkan sebanyak mungkin ‘emas hitam itu’melalui penggunaan tenaga kerja secara intensif.

Perekrutan pendatang-pendatang baru untuk memperluas angkatan kerja tidak disertai dengan pengadaan logistik cukup untuk pemondokan, makanan dan perawatan kesehatan. Di dalam tangsi para kuli tidak memiliki kebebasan pribadi.

C.AM.Bruinink-Darlang, dalam risetnya Het Penitentiair Stelsel in Neederlands-Indie van 1905 tot 1940, memaparkan masalah kekurangan makanan di kalangan penambang batubara yang melarikan diri, semakin lama menjadi semakin jelas dengan adanya keluhan penduduk setempat. Hal ini dikarenakan para kuli menjadi korban pencurian alat-alat dapur, seperti belanga, kuali hingga bahan makanan seperti beras, ikan asin dan garam.

Penduduk setempat, tidak ingin mengganggu para pejabat dengan pencurian kecil-kecilan itu. Namun tak pelak, pencurian makanan oleh kuli-kuli tambang berkaitan dengan perlakuan tidak baik oleh pimpinan. Kegagalan pimpinan dalam segi-segi ini terpantul dalam peningkatan pencurian kecil-kecilan di kalangan penambang.

Di samping itu, pada tahun 1920, para kuli kontrak hanya menerima upah 35 sen sehari di bawah kontrak pertama. Lalu, upah 40 sen sehari untuk bagian kedua kontrak. Atas dasar upah minimum yang ditentukan oleh Pemeriksaan Anggaran Kuli, maka angka upah ini lebih tinggi daripada upah yang diterima kuli di berbagai perkebunan di Kalimatan Selatan.(jejakrekam)

Penulis : Mansyur

Staf Pengajar Prodi Sejarah FKIP ULM

Foto     : Dokumen Belanda

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.