Leluhur dari Yunan, Etnis Tionghoa Membaur di Pacinan

0

GURU besar Universitas Xianmen, Tiongkok punya teori menarik. Profesor Shi Xueqing mengungkapkan adanya migrasi orang-orang Tionghoa dimulai pada abad ke-7 di Nusantara. Awalnya, Nusantara itu membentang dari Papua, hingga Semenanjung Melayu. Sesama penjelajah, bangsa Inggris yang dikenal sebagai pelaut andal menyebut etnis berkulit kuning dan bermata sipit itu sebagai Chinese Overseas. Sedangkan, di Indonesia, orang-orang keturunan Mongolid itu disebut Cina Perantauan atau Hoa Xiu.

MASIH dalam teori Profesor Shi Xueqing menyatakan ada ratusan ribu etnis Tionghoa menyerbu wilayah Nusantara pada abad ke-11. Mereka memasuki tanah-tanah pesisir dan subur di utara Pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera serta pesisir barat Kalimantan. “Para perantau Tionghoa ini disebut Singkeh atau Cina Baru. Mereka ini hidup melarat dan serba kekurangan,” tutur sang profesor.

Gara-gara kehidupan mereka yang serba kekurangan di tanah rantau itu, akhirnya kehidupan warga Tionghoa sangat sederhana, hemat bahkan terkesan kikir. Kedatangan etnis Tionghoa ini akhirnya makin eksis ketika mereka membentuk koloni atau perkampungan yang jamaknya dinamakan Pecinan dan dalam versi Banjar disebut Pacinan.

“Orang-orang Tionghoa akhirnya membawa budaya tanah leluhur ke tanah rantau, seperti tradisi imlek, tarian barongsai, serta kulinernya,” tutur Shi Xueqing.

Lantas bagaimana dengan Kalimantan, khususnya Kalsel? Arifin Sutiono yang tergabung dalam Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kalimantan Selatan mengakuri adanya teori migrasi etnis asal daratan Tiongkok itu ke Indonesia, termasuk Banjarmasin.

“Kebanyakan orang-orang Tionghoa yang ada di Banjarmasin ini berasal dari Provinsi Yunan, Tiongkok Selatan. Kalau berasal dari wilayah utara, hampir tak ditemukan,” tutur Arifin Sutiono kepada jejakrekam.com, beberapa waktu lalu.

Arifin mengungkapkan sama seperti etnis-etnis yang beragam di Indonesia, begitupula warga Tionghoa yang datang ke tanah Banjar. Dia menyebut ada beberapa suku yang memilih bermukim di Tanah Banjar, seperti Suku Kei atau Hakka yang kebanyakan adalah para pedagang tangguh berupa hasil kekayaan bumi Kalimantan seperti lada, karet, damar dan sebagainya. Kemudian, suku Fu Ching atau Hokkia yang juga para pedagang, lalu suku Tio Chiu (para tukang kayu), Hiung hwa (pedagang sepeda), dan sebagian kecil lagi adalah suku Hupei.

“Mereka inilah yang datang ke Tanah Banjar sebagai pedagang, terutama hasil-hasil bumi Kalimantan seperti rempah-rempah. Lama kelamaan mereka akhirnya bermukim dan menjadikan tanah Banjar sebagai tanah keduanya,” tutur Arifin Sutiono.

Dalam buku Hikayat Banjar yang ditulis ahli sejarah Jawa (Nusantara) asal Universitas Leiden, Belanda, Prof Johanes Jacobus Ras mengungkapkan jika ada para perajin perunggu asal Tiongkok yang sengaja didatangkan Empu Jatmika, sang pendiri Kerajaan Negara Dipa di pedalaman Kalimantan Selatan atau tepatnya di Margasari, pertemuan Sungai Marabahan-Sungai Negara.

Kerajaan Negara Dipa yang diperkirakan berdiri pada 1387-1495 yang menjadikan Candi Laras (Margasari) sebagai ibukota pertamanya, kemudian memindahkannya ke Candi Agung (Amuntai) serta terakhir dipindahkan lagi ke Bandar Muara Rampiau (kini kawasan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara).

Dalam riset JJ Ras disebutkan jika Empu Jatmika yang kemudian dilanjutkan putranya, Patih Lambung Mangkurat mengizinkan para pematung tembaga asal Tiongkok itu bermukim di Tanah Banjar yang dikuasainya. Sebab, awalnya para pematung didatangkan Empu Jatmika dari Tanah Jawa ke Kalimantan adalah para pemahat kayu, begitu teknologi logam diperkenalkan para ‘imigran’ asal Tiongkok, ternyata juga diterapkan dalam kehidupan kerajaan cikal bakal Kesultanan Banjar tersebut.

Bahkan, dalam hasil riset Begawan Sejarah Banjar, Prof Idwar Saleh dalam bukunya Bandjarmasin juga menyebutkan jika para pemukim etnis Tionghoa sudah terlebih dulu mendiami daerah aliran sungai (DAS) Sungai Barito, terutama di kawasan Bandarmasih (kini kawasan Kuin, Banjarmasin Utara). Versi dalam catatan keluarga keturunan Khatib Dayan, disebutkan di kawasan Sungai Sugaling, perbatasan Kelurahan Alalak Selatan dan Kuin Utara dulunya merupakan kampung para keturunan Tionghoa.

“Memang ada yang menghubungkan kedekatan etnis Tionghoa dengan pribumi Kalimantan, yakni Dayak. Bahkan, Dayak Tidung di Kalimantan Utara dipercaya nenek moyangnya adalah orang-orang Cina,” tutur Arifin Sutiono lagi.

Untuk bertahan hidup di negeri rantau, pembauran atau membentuk koloni menjadi pilihan yang harus diambil para migran etnis Tionghoa di Tanah Banjar. Dalam kronik China buku 323, Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) diungkap bahwa era Sultan Hidayatullah I (Raja Banjar ke-3), para pedagang Tionghoa itu membentuk perkampungan. Itulah kenapa disebut Pacinan (Chinezen Camp), yang dulu terbagi dalam dua perkampungan; Pacinan Laut (kini Jalan Piere Tandean) dan Pacinan Darat (kawasan Jalan Veteran hingga Kampung Melayu).

Dalam versi dokumen kolonial Hindia Belanda tahun 1895, dicatat dari hasil sensus jumlah suku Tionghoa yang bermukim Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo, yang dulu mencakup Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan kini ada Kalimantan Utara. Komunitasnya mencapai 4.525 jiwa.

Dalam kesehariannya, Arifin Suritiono  mengatakan dalam klaster marga dan etnis Tionghoa, dikenal ada tiga kelompok; babah, totok dan peranakan. China Babah adalah keturunan Tionghoa yang telah membaur dengan pribumi, khususnya suku Banjar. China Totok adalah mereka yang baru tiba dari daratan Tiongkok, yang lantas menyebar menjadi pedagang.

Nah, bila China Totok ini menikah sesama China Totok, walau di tanah rantau, tetap saja dianggap sebagai China Baru. Sedangkan, China atau Tionghoa Peranakan, definisinya ialah para pedatang baru yang dipercaya datang bergelombang pada abad ke-15 dan ke-16. “Di Banjarmasin, kebanyakan China Babah dan Totok. Tapi, sebagian peranakan,” tutur Arifin Suritiono, yang juga mantan Ketua REI Kalsel ini.

Masih menurut Arifin, semua migran yang membumi di Tanah Banjar, tetap memegang prinsip hidup kerja keras dan harus mandiri. “Makanya, wajar jika saat itu, baik era Kesultanan Banjar maupun Kolonial Hindia Belanda di Banjarmasin, banyak bermunculan saudagar-saudagar Tionghoa,” ucap Arifin lagi.

Menurut dia, para saudagar Tionghoa itu banyak mukim di kawasan Pacinan. Hanya sedikit yang menyebar di pesisir Tanah Banjar. Ia menyontohkan, komunitas China Parit yang mendiami kawasan Sungai Parit, Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Mereka dikelompokkan sebagai etnis Tionghoa yang telah membaur.

Dalam catatan Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, China Parit adalah imigran penambang timah yang didatangkan dari Pulau Bangka dan Belitung oleh Alexander Hare, seorang Komisioner Residen Inggris yang berkuasa di Benteng Tatas, Banjarmasin pada 1812.Mereka ini dipekerjakan di areal tambang batubara yang dikuasai perusahaan Belanda, yang kemudian diambilalih Inggris di Distrik Maluka, yang kini keturunan para migran Tiongkok itu identik dengan sebutan China Parit.

Meski begitu, Arifin mengatakan, pusat episentrum Tionghoa tetap berada di Pacinan Banjarmasin. Itu dikarenakan era Kolonial Belanda jelas melanjutkan pola klaster atau perkampungan berdasar etnis di Tanah Jajahan.

Makanya, di era Kolonial Belanda, ada dua letnan China (luitenants der Chinezen) yang terkenal; The Sin Yoe dan Ang Lim Thay pada 1898. Pada 1904, ditunjuk Kapten Thio Soen Yang, dan 1912 Tjoe Eng Hoei dan Oe Eng An sebagai kepala perkampungan Pacinan. Arifin tak memungkiri saat Raja Banjar terakhir setelah Kesultanan Banjar dihapus Belanda secara sepihak pada 11 Juni 1860, Sultan Tamjidillah II adalah seorang Tionghoa Babah.

Sultan Banjar yang berkuasa pada 3 November 1857-25 Juni 1859 itu merupakan anak selir (Nyai) peranakan Tinghoa-Dayak bernama Pha Tong Fang atau Nyai Petompang. “Makanya, di zaman Sultan Tamjidillah II ini berdiri Balai Kaca dan Istana Sultan di Pacinan yang berhadapan dengan Kampung Amerong (Perkampungan Belanda) yang dipisahkan Sungai Martapura,” ujar Arifin.

Hal ini juga dicatat Kapten Daniel Beckman seperti tertuang dalam buku Kalimantan Tempo Doeloe, yang disusun Victor T King dari Pusat Studi Asia Tenggara, University of Hull pada 1992. Dalam catatan harian Daniel Beckman yang diperintahkan East India Company, atau kamar dagang Inggris yang berpusat di India untuk membeli lada ke Pelabuhan Banjarmasin pada 1714.

Sang pelaut Inggris juga menceritakan keberadaan Sungai China (Pacinan) yang lebar dan dalam sebagai akses pelayaran tempo dulu ke Benteng Tatas, yang dipenuhi gudang-gudang hasil bumi, dan atau ke Kesultanan Banjar di Kayutangi (Martapura), atau dikenal sebagai penyuplai batu-batu mulia, terutama intan.

Daniel menceritakan, perkampungan China di bantaran Sungai Martapura hingga Sungai China, baik yang terapung maupun berdiri kokoh di atas tanah rawa. “Dulu, nama Sungai Veteran memang Sungai China atau Pacinan. Bahkan, nama Jalan Veteran itu dulunya adalah Jalan Sungai Martapura sebelum merdeka,” kenang Arifin.

Sebagai para perantau yang lantas menjelma jadi ‘pribumi’ Banjar, Arifin mengatakan, dalam kehidupan orang-orang Tionghoa lekat budaya dagang. “Anda bisa menebak dari marga Tionghoa itu bisa diketahui apa pekerjaan nenek moyangnya dulu,” tutur Arifin.

Ia menyontohkan marga The, yang berasal dari suku Hakka (Kie) merupakan para pedagang palawija dan hasil bumi. “Jadi, jangan mengherankan jika banyak yang memakai marga The masih melestarikan pekerjaan mereka sebagai pedagang. Kini, ya jadi pengusaha,” Arifin berseloroh.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Museum Troppen Belanda

 

 

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/02/15/leluhur-dari-yunan-etnis-tionghoa-membaur-di-pacinan/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.