Hidup Segan Mati Tak Mau Para Pengrajin Tanggui

2

BAGAI kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Kehidupan penuh nelangsa dan bertahan di deru waktu harus dijalani para pengrajin tanggui. Topi berbentuk caping penutup kepala khas wanita-wanita Banjar itu, sekarang terus bergerak menyepi. Mereka bertahan hanya demi mempertahankan warisan budaya leluhur.

SEBARAN para pengrajin tanggui di Kota Banjarmasin, kini hanya bisa dihitung dengan jari. Usai para pengrajin di Kelurahan Alalak Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, tak lagi menghasilkan produk yang pernah berjaya di era kolonial Belanda, dan tahun 1990-an, kini tersisa hanya di beberapa kampung.

Sebut saja, di Kelurahan Alalak Selatan, meski jumlah pengrajin mencapai ratusan orang, namun mereka hanya bisa bertahan di dua rukun tetangga (RT) yakni RT 1 dan 2. Sisanya, tersebar di Kelurahan Kuin Utara dan Kuin Selatan.

“Kami belajar ototidak, tak pernah berguru. Hanya berbekal melihat dan mengikuti pola, akhirnya bisa sendiri. Dulu, banyak acil-acil yang pertama kali memperkenalkan tradisi membuat tanggui ini,” cerita Arbainah (64 tahun) saat berbincang dengan jejakrekam.com, di Dermaga Pasar Terapung Kuin, Jalan Alalak Selatan RT 2, Banjarmasin, Minggu (11/2/2018).

Wanita tua yang kini penghilatannya mulai kabur, bahkan bisa dikatakan hampir buta akibat penyakit katarak yang dideritanya, mengakui dulu ada beberapa pengrajin tanggui andal di Alalak Selatan. Dia menyebut nama para pengrajin yang kini telah tiada, seperti Acil Jariah, Acil Mudi dan Acil Tora.

“Dari merekalah kami belajar, walau hanya melihat dan kemudian mempraktikkannya,” ucap Arbainah, yang kini hidup di masa senjanya sebatang kara, usai ditinggal suaminya yang telah mendahuluinya.

Dia mengungkapkan untuk membuat tanggui sekarang bahan bakunya berupa daun nipah yang lebar, tak bisa lagi didapat secara gratis. Dulu, Arbainah dan kawan-kawan mencari di hutan bakau (mangrove) Pulau Kembang, Kabupaten Barito Kuala. Kini, terpaksa harus didatangkan dari Lupak, Tabunganen atau Tamban, Kabupaten Barito Kuala.

“Biasanya, daun nipah ini diantar ke sini. Ya, dijual dalam satu babat (berisi 100 helai daun) seharga Rp 3 ribu. Kalau yang pendek seharga Rp 2 ribu per babat,” ujar Arbainah.

Tangannya yang sudah cekatan dan terasah sejak 1975, Arbainah pun memang sangat mahir, walau dengan penghilatan yang kurang. Menurut Arbainah, beberapa pengrajin di Kelurahan Alalak Selatan, hanya membuat bakalan, bukan tanggui dalam bentuk utuh. “Istilahnya, kami hanya membuat bingkai atau barang setengah jadi. Nantinya, untuk perakitan tanggui secara utuh dilakukan pengrajn lainnya seperti di Kuin Utara dan Kuin Selatan. Ada juga pengrajin serupa dari Jelapat, Kabupaten Batola,” tutur Arbainah.

Sistem ijon atau alias dipinjam uang terlebih dulu oleh para juragan atau pengepul, diakui Arbainah membuat dirinya dan kawan-kawan hanya bisa menikmati upah atau keuntungan berkisar Rp 50 ribu per pekan. Kecil memang, tapi Arbainah tak bisa berbuat banyak karena kemahirannya hanya membuat tanggui.

“Biasanya, tanggui ini laris manis saat musim panen. Untuk bakalan tanggui dibeli seharga Rp 170 ribu per 100 bakalan yang sudah kering. Atau kalau yang pendek hanya Rp 150 ribu per 100 bakalan tanggui,” paparnya.

Namun, Arbainah mengaku tetap berbangga hati, ternyata bakalan tanggui hingga menjadi produk utuh itu masih bisa menembus pasar di luar Banjarmasin, seperti ke Palangka Raya dan Samarinda. Dalam sehari, jika Arbainah tak sakit-sakitan, bisa menghasilkan 25 bakalan tanggui. “Kalau dulu, harga bakalan tanggui cukup mahal berkisar Rp 3.500 hingga Rp 4.500, sekarang malah turun. Tapi, mau apalagi, tak ada pekerjaan lain,” kata Arbainah.

Apakah Anda pernah mendapat bantuan modal atau sebagainya dari Pemkot Banjarmasin? Arbainah mengaku pernah, namun tak pernah berkelanjutan. Bahkan, dia mengaku tak berani mengajukan utang ke bank, karena usianya kini tak masuk dalam kategori yang berhak menerima kucuran dana. “Ya, terpaksa meminjam kepada juragan. Nanti, dipotong dari penghasilan Rp 100 ribu, misalkan sisanya Rp 50 ribu saya dapat dalam seminggu,” papar Arbainah.

Sementara itu, seorang pengepul dan pemodal daun nipah untuk bahan tanggui, Acil Sinah mengakui memilih membeli bahan utama pembuat topi khas Banjar itu, dikarenakan tak ingin melibat ibu-ibu yang sudah tua di Alalak Selatan, tak punya kerjaan.

“Sekarang, banyak perusahaan kayu yang sudah tutup. Makanya, pembuatan tanggui itu akhirnya dipilih mereka. Kalau dihitung, untuk di Alalak Selatan, hampir 100 orang yang membuat tanggui. Ya, dari ibu-ibu tua seperti Acil Arbainah, hingga perempuan muda yang sudah punya anak,” katanya. “Kalau perempuan yang bujangan, tak mau membuat tanggui,” sambungnya.

Dia mengaku membeli satu ikat daun nipah itu seharga Rp2.500, dan kemudian dijual kepada para pengrajin seharga Rp 3.000. Selisih Rp 500 perak ini, jadi keuntungan Acil Sinah. “Daripada tidak ada kerjaan, lebih baik mereka tetap membuat tanggui,” katanya.

Aktivis kemasyarakatan Alalak Selatan, Iberahim pun mengaku miris dengan rendahnya perhatian Pemkot Banjarmasin atau instansi terkait terhadap kehidupan para pengrajin tanggui. “Bantuan yang diberikan itu hanya sesaat, tak berkelanjutan. Padahal, tanggui itu merupakan warisan budaya Banjar. Nah, jika mereka telah tak ada, maka generasi penerusnya akan terputus,” tutur Iberahim.

Menurut dia, selama ini, para pembuat tanggui itu hanya menjadi objek pelengkap Pasar Terapung Kuin, tak diberdayakan secara serius sebagai sebuah komunitas yang menghasil produk unggulan, layaknya kain sasirangan atau sejenisnya. “Mereka dibiarkan tumbuh dan mati secara alami, ya seperti peribahasa hidup segan mati tak mau,” ucap jebolan Fakultas Hukum Universitas Achmad Yani Banjarmasin ini.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Didi G Sanusi

 

 

2 Komentar
  1. jarkawi berkata

    Assalamualikum… Apa bisa saya mendapatkan refensi komonitas tagui dan masalah tanggui. wassalam

    1. admin berkata

      Komunitas tanggui ada di beberapa tempat, di kawasan dermaga Pasar Terapung Alalak Selatan, membuat bakalan tanggui. Untuk perakitan tanggui ada di kampung di belakang Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara, dan Jelapat, Barito Kuala. Demikian informasinya

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.