Demokratisasi dalam Persekutuan Kegilaan Kolektif

0

JUDUL artikel diinspirasi oleh salah satu event international conference yang berjudul Poverty and Sustainability Develovment.  Event international conference diselenggarakan di Colombo City, Sri Langka pada Desember 2015 lalu.  Saya salah satu pembicara dari Indonesia di antara 37 pembicara dari berbagai latar belakang universitas yang datang dari kawasan Asia Timur, Asia Selatan dan Eropa.

SAYA mempresentasikan paper pada event tersebut tidak kurang dari 200 orang peserta dengan paper yang berjudul, Democratization and Political Corruption After Soeharto’s Government. Sebagai akademisi yang berlatar belakang anak desa, ada rasa nerves dan tidak percaya diri untuk menguji nyali adrenalin akademik di hadapan para pembicara lainnya yang datang dari latar belakang universits yang sudah maju.

Namun demikan, adrenalin akademik saya yang menggebu-gebu itu telah menstimulir untuk belajar naik ring tinju akademik di negeri orang untuk yang kesekian kalinya sebagai para materi intelektual agar tidak mendapat predikat juara di desa atau di kandang sendiri.  Sungguh, saya merasa tertolong dan secara pelan-pelan rasa nerves itu mulai slow down karena berkat papar  yang saya presentasikan di hadapan peserta berjumalah 16 slide itu, dengan judul yang lumayan seksi dan bombastis mampu menghipnotis dan menarik perhatian para peserta.

Dalam pikiran para peserta yang hadir bisa saja menimbulkan suatu pertanyaan, apakah paper itu sebagai representasi dari suatu diskripsi buram dari dinamika politik pasca tumbangnya rezim oligarki Soeharto?  Secara tiba-tiba salah seorang peserta dari Negeria mengatakan, brother your country than better of my country. My country the most massively corruption in the world. Dalam hati hanya berkata bahwa, praktik korupsi di negara Negeria ternyata lebih gila lagi dari pada Indonesia. Oh ternyata kegilaan itu ada di mana-mana, dan level dan struktur yang berlapis-lapis.

Sebagai anak bangsa yang mencintai negeri ini, agak sedikit lega dan tersenyum bahwa negeri ini ternyata tidak sendirian.di jagat ini yang terpasung korupsi dan kemiskinan yang terstruktur di tengah sumber daya alam melimpah. Seperti halnya negeri yang tidak pernah sepi dari konflik sosial dan kekerasan bersenjata antar faksi yang berebut kuasa politik dan sumber ekonomi.  Memang, kata demokrasi atau demokratisasi adalah diksi kata yang indah diucapkan oleh siapa saja. Namun di balik diksi kata itu pula tempat bersemainya dan bahkan tumbuh suburnya struktu kegilaan kolektif.  Atas demokrasi atau transisi demokrasi, kegilaan berlapis-lapis itu menumukan habitatnya secara alami.

Para aktor politik sebagai pengendali kegilaan itu telah berhasil  mengemasnya dalam bungkusan demokrasi dengan segala ornamen indah dan rakyat pun secara sadar atau tidak sadar telah digiring menuju menuju mimbar altar demokrasi gila (the crazy of demoxracy) sambil mendengarkan firman-firman kepalsuan para badut-badut politik itu. Di tengah kerbatasan sosiologi politik takyat, di tengah kenisbian memahami makna kegilaan yang dikemas lucu itu, rakyat sejenak merasakan keindahan dan sejanak melupakan kesedihan dan susahnya mencari sesuap nasi, sejenak melupakan hutang piutang, melupakan bagaimana membayar sekolah anak yang belum tentu harapannya.

Mengapa sejenak melupakan semua itu? Para badut itu-itu sedang berjoget yang diiringi natasi-narasi indah dan sembari mengajak rakyat mengkhayal tentang sebuah mimpi-mimpi indah bila berhasil merebut kekuasaan. Ini adalah praktik yang paling sofisticate dari proses kegilaan yang kita beli dan kita nikmati selama ini pasca Orde Baru.

Pasca Orde Baru adalah era paling canggih memproduksi mesin kekuasaan gila. Ratusan pejabat daerah yang menggunakan kekuasaan secara tidak benar untuk meperkaya diri sendiri dan kroninya masuk penjara karena praktik gila itu. Miris, dongkol dan marah adalah halaman hitam yang menghiasi lembaran-lembaran kitab demokrasi yang susah payah ditebut anak bangsa pada Mei 1998 lalu.

Suatu perjalanan panjang dan berliku menuju demokrasi setelah selama 32 tahun bersemi dalam keranjang sampah rezim oligarki Orde Baru. Seperti yang banyak diulas para ilmuan politik seperti Vidi R Hadiz dan Richard Robison (2004); Vidi R Hadiz (2011); Edwar Aspinall and Van Klinken (2011); Jeffery Winters (2011), para ilmuan politik ini ada kesamaan pandangan bahwa berakhirnya rezim oligarki Orde Baru bukan berarti ikut terkuburnya sisa warisan oligarki rezim Orde Baru mengiringi terkuburnya personal Soeharto.

Bahkan, reformasi politik yang dibangun dengan berdarah-darah justru menumbuh kembangkan Soehartoisme dengan bungkusan yang berbeda nanmun substansinya tetap sama, yaitu bangkit nya para oligarki lokal jilid kedua dalam dalam ornamen yang lebih sofisticate, atas nama Putra Asli Daerah (PAD).

Isu putra asli daerah adalah jualan yang cukup menarik untuk membangun political branding and political strategy to mobilise of power, demikian kata Ryan Gordon Tans dalam Mobilising Power Resources (2014). Di tengah political pragmented society (politik masyatakat yang terbelah atau liar), proses penjinakan itu dapat dilakukan dengan berbagai modus. Salah satu modus adalah permainan politik uang untuk mempengaruhi pemilih dan berbagai macam modus lainnya.

Kata Prof Rocky Gerung, sebagai bentuk penghormatan kepada badut adalah mentertawakan namun si badut itu tidak pernah ditertawakan oleh massa. Bangsa ini sedang berada dalam kendali badut-badut dengan kecanggihan kegilaan akan berusaha membangun ilusi-ilusi absurditas alias kekonyolan berdemokrasi yang meaningless of democratic values.

Sebelum dan sesudah pilkada, semoga rakyat tidak mengalami The Endless Love dan berakhir yang melahirkan kehampaan harapan akibat akrobatik politik para badut yang menipu. Rakyat sudah bosan dan muak menyaksikan, para badut-badut ditangkap oleh KPK karena kasus korupsi, jual beli jabatan, soal izin tambang, izin kelapa sawit dan sebagainya. Kerakusan dan ketamakan dari para pejabat daerah yang bermental korup telah membuat negeri ini carut marut dan memiskinkan rakyat. Celakanya, semua buku literatur politik mengatakan, jalan demokrasi adalah jalan terbaik mengelolah sistem pemerintahan.

Negeri ini telah memilih jalan itu dalam upaya mendesain sistem pemerintahan pasca Soeharto. Akan tetapi yang terjadi justru memperlihatkan hal paradoks. Proses demokatisasi telah diiringi bangkitnya political dynasty, the rise of local oligarchy, the rise of political corruption at the local givernment, the rise of political and economy patronage at the local government. And how to use the power and political institutions to gain political and and politicak advantage.

Pernyataan Dr Mohammed Yosuf peserta dari negeri tersebut dengan tegas mengatakan bahwa negara Indonesia masih lebih baik daripada Negeria, sungguh masih memberikan seberkas asa bahwa masih ada negara yang lebih korup. Bukankah telah menjadi pe getahuan umum bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia seperti dipublis oleh Index Perseption Corruption? Allahu A’lam ala mataf’alun.(jejakrekam)

Penulis : DR M Uhaib As’ad

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Staf Pengajar FISIP Uniska MAAB Banjarmasin

Ilustrasi : Ngelmu.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.