Siapa di Balik Ambruknya Jembatan Mandastana?

0

RUNTUHNYA  Jembatan Mandastana yang membentang di Sungai Alalak sepanjang 100 meter dan menjadi penghubung empat desa yakni Desa Tanipah, Desa Sungai Antasan Sagara, Desa Tatak Layung dan Desa Sungai Ramania, yang dibangun menggunakan dana segede Rp 17,4 miliar, benar-benar menjadi perhatian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR).

SURAT jawaban dari Menteri PUPR, M Basuki Hadimuljono kepada Bupati Batola di Marabahan atas suratnya bernomor 601/143/Umum/2017, tanggal 25  Agustus 2017,  mengenai laporan hasil akhir Tim Penilai Ahli Kegagalan Jembatan Tanipah (Mandastana) di Kabupaten Batola, Provinsi Kalsel.

Dalam surat bernomor PR.02.02-Mn/2017, tertanggal 4 Januari 2018 yang dibuat di Jakarta, Menteri PUPR M Basuk Hadimuljono mengungkapkan dari hasil Tim Penilai Ahli Kegagalan Bangunan Jembatan Tanipah (Mandastana) telah ditemukan lima poin penting.

Kendati begitu, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi Kalsel Subhan Syarief menilai, surat Menteri PUPR itu tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab? Seharusnya ada tercantum tanggung jawab dalam kegagalan bangunan, di dalam isi surat.

Subhan menyebutkan, pasal 61 ayat 2 poin d UU No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi maka penilai ahli harus menetapkan atas kegagalan bangunan. “Jadi siapa yang bertanggung jawab dulu, lalu surat bisa dilengkapi dengan informasi, siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan tersebut,” ucap arsitek ini.

Jika dilihat UU No 2/2017, sambung Subhan, bisa kesalahan pada penyedia jasa, maka penyedia jasa harus mengembalikan kepada kondisi direncanakan sampai bisa difungsikan. “asas UU Jasa Konstruksi adalah asas dimanfaatkan karena menyangkut kepentingan publik,” tutur Subhan Syarief, Jumat (9/2/2018).

Penilai ahli dalam rekomendasi kepada Menteri PURP antara lain harus menetapkan siapa yang bertanggung jawab.  Sementara surat menteri tidak menegaskan siapa yang bertanggung jawab, sehingga bentuk sanksi hukum belum jelas dan tegas. “Bentuk penerapan sanksi hukum menjadi tidak bisa dipertegas, apakah pidana, atau sanksi administratif (perdata),” katanya.

Jika UU No 2/2017 maka sanksi diutamakan sanksi keperdataan dengan mengganti rugi terhadap kegagalan bangunan tersebut. Dengan kata ain dibangun ulang, sampai dipergunakan lagi dengan aman sesuai standar yang ditentukan. “Kenapa dilakukan, karena inti UU No 2/2017 mengutamakan kemanfaatan bagi kepentingan publik,” beber mantan Ketua Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia (Intakindo) Kalsel ini.

Senada itu, Ketua Forum Pembela Bangsa dan Negara (Forpeban) Kalsel Din Jaya meminta penyelidikan di Polda Kalsel harus dilanjutkan, sebab berdasarkan surat menteri adanya kegagalan bangunan.
“Jadi tidak boleh dihentikan proses penyedikannya, mengingat kasus tersebut ada indikasi pidana,” kata aktivis lembaga swadaya masyarakat ini.
Ia mengaku, runtuhnya jembatan Mandastana sangat merugikan masyarakat.
Penyelidikan di Polda Kalsel puin harus diumumkan secara transparan. “Jadi sampaikan kepada publik hasil dari pemeriksaan kepolisian, dan jangan kasusnya mandeg,” katanya.
Untuk itu, Ia berharap Polda Kalsel benar-benar menangani perkara ini, sebab banyak terlibat dalam masalah jembatan tersebut. “Ini kan bukan akibat bencana alam,” imbuhnya. (jejakrekam)

Penulis : Economics

Editor    : Afdi Achmad

Foto      : Istimewa

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.