Miras Kebijakan yang Tak Waras

0

PADA perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Miras di DPR kapan lalu, Ketua DPR menyebutkan ada delapan parpol yang setuju minuman keras (miras) diperjualbelikan secara bebas di warung-warung (Republika.co.id, 21/01). Yang demikiantidaklah mengherankan jika kita telisik sejarah perkembangan payung hukum miras di Indonesia.Perpres yang ada hanyalah sebatas ketetapan yang dikeluarkan oleh presiden dan kekuatan hukumnya tidak sama dengan undang-undang. Dengan UU maka diharapkan ada kepastian hukum yang lebih kuat bagi pembatasan peredaran miras ini.

UU Nomor  29 Tahun 1947 tentang Cukai Minuman Keras, aturan yang pertama kali mengatur miras di Indonesia. Pengaturannya bukanlah masalah produksi ataupun perdagangan mirasnya, melainkan tentang cukai yang diterapkan untuk minuman keras. jadi konsentrasi pada waktu UU tersebut dikeluarkan, miras masih dipandang dari sudut ekonominya, belum kepada dampak sosial yang ditimbulkannya (www.kompasiana.com).

Tahun 1997 ditandatangi Keppres Nomor 3 yang berisi pengaturan, pengawasan dan pengendalian miras. Dinyatakan miras legal dan dikelompokkan berdasarkan persentase kandungannya dalam minuman. Pada Juli 2013, MA membatalkan Keppres tersebut dengan adanya resistensi dari kalangan masyarakat yang diilhami oleh perda anti miras di beberapa daerah.Sedangkan tahun 2013 ditandatangani Perpres 74 yang berisikan kebijakan untuk kembali mengatur miras sebagai barang dalam pengawasan.

Menteri Perdagangan M Lutfi menandatangani Permendag Nomor 20 tahun 2014 yang mengatur lebih detail soal pengawasan dan pengendalian miras tersebut. Permendag dilampiri dengan Pakta Integritas untuk menjaga kepatuhan produsen dan penjual. Dan pada 16 Januari 2015 Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menandatangani Permendag nomor 6 tahun 2015. Berisilarangan penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket dan pengecer sedangkan supermarket diperbolehkan menjual minuman beralkohol. Peraturan ini yang melatar belakangi Mendagri Tjahjo Kumolo mencabut perda-perda miras (Koran-sindo.com).

Mencermati kebijakan miras yang ada, terlihat bahwa Indonesia tidak pernah serius melarang miras ini beredar di tengah masyarakat. Sebagian berpendapat dikarenakan berkaitan erat dengan pariwisata dan adat istiadat di beberapa kebudayaan yang ada di Indonesia.Lebih parah lagi ada pendapat bahwa dengan adanya pengetatan peredaran miras, mengakibatkan produk ilegal miras oplosan yang banyak menelan korban jiwa justru meningkat.

Padahal sebuah penelitian dari UI menyebutkan bahwa 54% penghuni penjara di Indonesia adalah pelaku kejahatan karena miras. 58% angka kriminalitas di Indonesia terjadi ditenggarai akibat pengaruh miras. Menurut WHO, sekitar 3,3 juta jiwa tewas karena mengkonsumsi alkohol berlebihan. Belum lagi kasus pesta miras yang berujung kematian. Ibarat fenomena gunung es. Terbaru kasus tewasnya dua orang usai pesta miras tahun baru lalu.(jejakrekam.com)

Ditinjau dari aspek kesehatan, Miras mengakibatkan berbagai dampak negatif berbahaya. Dari mulai  pembengkakan dan kanker hati, sampai pada kerusakan otak yang berujung pada depresi dan frustasi. Konsumsi Miras juga dapat menurunkan fungsi alat indra serta mengakibatkan  kebutaan.  Selain itu, mempercepat osteoporosis, kerusakan sistem pencernaan, over dosis, kecanduan, serta berbagai hal berbahaya lainnya. Semua dampak negatif tersebut pada ujungnya bermuara pada kematian.

Legalisasi Miras di negeri ini tidak terlepas dari pandangan kaum kapitalis terhadap nilai suatu barang. Menurut pandangan mereka, jika suatu barang memiliki kegunaan, barang tersebut layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Barang yang memiliki kegunaan adalah segala sesuatu yang diinginkan. Baik yang dianggap memberikan kepuasan bagi sebagian orang, sedangkan bagi orang lain merupakan sesuatu yang membahayakan. Dengan demikian, Miras pun masih terkategori barang yang memiliki nilai guna, karena dianggap mampu memenuhi kebutuhan manusia, sebab ada yang menginginkannya. Mereka tidak peduli dengan penilaian agama yang mengharamkan khamr.

Kaum kapitalis pun mengidentikkan antara kebutuhan dan keinginan. Sehingga, setiap keinginan manusia dianggap sebagai kebutuhan yang harus disediakan alat pemuasnya. Termasuk, ketika ada rakyat yang menginginkan Miras, hal itu dianggap sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi.  Padahal faktanya, terdapat perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.

Sebagai contoh, lapar dan haus menuntut kebutuhan. Lapar membutuhkan makan dan haus membutuhkan minum.  Sehingga ketika orang merasa lapar maka ia membutuhkan makanan. Begitu pula ketika orang merasa haus maka ia membutuhkan minuman. Untuk orang yang haus, beberapa gelas air cukup untuk memenuhi kebutuhannya, lebih dari itu bukanlah kebutuhan tetapi keinginan. Orang pun bisa memilih dan memilah jenis minuman apa yang dibutuhkan tubuh dan yang membahayakan tubuh. Mengkonsumsi Miras bukanlah memenuhi kebutuhan, melainkan hanya sekedar melampiaskan keinginan.

Bagaimana Islam Memandang Miras.

Pelonggaran peredaran miras jelas menyalahi syariah. Islam tegas mengharamkan miras dan memerintahkan untuk dijauhi agar beruntung. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah [5]: 90).

Rasul saw menjelaskan bahwa semua minuman (cairan) yang memabukkan merupakan khamar dan haram, baik sedikit maupun banyak.“Semua yang memabukkan adalah khamar dan semua khamar adalah haram” (HR Muslim).“Apa saja (minuman/cairan) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram” (HR Ahmad dan Ashhabus Sunan).

Khamar harus dibabat total dari masyarakat. Hal itu bisa dipahami dari laknat terhadap 10 pihak terkait khamar. Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:“Rasulullah saw. telah melaknat dalam hal khamar sepuluh pihak: yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang minta dibawakan, yang menuangkan, yang menjualnya, yang memakan harganya, yang membeli dan yang minta dibelikan” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Hadits ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak itu berarti telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan syariah. Abdurrahman Al Maliki pada buku Sistem Sanksi dalam Islam menjelaskan untuk orang yang minum khamar, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan, sanksinya adalah hukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra. menuturkan:“Nabi Muhammad saw.pernah mencambuk orang yang minum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak 40 kali.”(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud). Ali bin Abi Thalib ra menuturkan:“Rasulullah saw. pernah mencambuk (peminum khamar) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim).

Untuk pihak selain yang meminum khamr, maka sanksinya berupa sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadhi, sesuai degnan ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera. Produsen dan pengedar khamar selayaknya dijatuhi sanksi yang lebih keras dari orang yang meminum khamar sebab bahayanya lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat.

Sanksi tegas dan sesuai dengan ketentuan syariat ini hanya bisa diberlakukan jika negara menganut sistem pemerintahan Islam. Karena sistem sanksi ini berkaitan dengan sistem pengaturan kehidupan yang lainnya, yang kesemuanya harus sejalan. Sehingga mau tidak mau harus menerapkan Islam kaffah agar permasalahan miras ini dapat dituntaskan.(jejakrekam)

Penulis : Bunda Sholeh

Praktisi Pendidikan dan Anggota Revowriter Kalsel

Foto     : Rumaysho.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.