Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

1

ERA Kesultanan Banjar dikenal dengan keandalan Pelabuhan Bandarmasih yang akhirnya menenggelamkan kejayaan Pelabuhan Muara Bahan (Marabahan) sewaktu dikendali Kerajaan Negara Daha. Dari berbagai literatur, kawasan Pelabuhan Bandarmasih itu membentang dari Sungai Barito, Tanah Kuin hingga ke Muara Kelayan di anak Sungai Martapura.

SEIRING waktu, kontrol pemerintahan seusai Pemerintah Kolonial Belanda menguasai Tanah Banjar, dengan membubarkan Kesultanan Banjar yang berdiri pada 1520, dihapuskan secara sepihak pada 11 Juni 1860. Sebelumnya, tanah-tanah yang semula dikuasai Kesultanan Banjar juga terikat kontrak dalam sebuah loji Belanda di Banjarmasin pada 4 Mei 1826/26 Ramadhan 1214 Hijriyah yang diteken Sultan Adam Watsiq Billah, bersama Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, dan Pangeran Ahmad yang disaksikan para pangeran lainnya.

Jadilah, Kesultanan Banjar harus mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda menjadi Leenstaat, atau negeri pinjaman. Walhasil, wilayah Kesultanan Banjar pun mengecil. Sebab, ada beberapa wilayah yang telah dikuasai Belanda berdasar isi perjanjian seperti Pulau Tatas dan tanah Kuin, sampai ke Antasan Kecil, Pulau Burung mulai Kuala Banjar hingga Mantuil,  Rantau Keliling hingga sungai-sungai Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan wilayah lainnya.

Dengan penguasaan lahan bekas Kesultanan Banjar di Banjarmasin, pada 1925 Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengeluarkan beslit bernomor 19 tertanggal 25 November 1925, yang kemudian direvisi lagi dengan beslit bernomor 14 tanggal 17 Oktober 1938 dalam Statblad Nomor 616 Tahun 1938, perpindahan pelabuhan ke dalam Sungai Martapura yang kemudian dikenal dengan Pelabuhan Martapura Lama.

Dosen sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Mansyur mengungkapkan hambatan kondisi alam sangat dominan dalam operasional Pelabuhan Lama Banjarmasin di era 1901-1930-an. “Lantas bagaimana Belanda menjaga agar pelabuhan itu tetap eksis dalam perdagangan inter-insuler? Apakah Pemerintah Hindia Belanda mulai kehilangan akal. Jawabannya, tentu tidak,” ucap Mansyur kepada jejakrekam.com, Kamis (8/2/2018).

Menurut dia, endapan lumpur yang ada di Sungai Barito dan Sungai Martapura beserta sejumlah besar anak sungai yang bermuara ke Pelabuhan Lama Banjarmasin justru bisa ditanggunglangi Pemerintah Hindia Belanda.

Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini membeberkan laporan dari Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havens dalam laporan peneliti Susilowati (2004), mesin pengeruk lumpur dioperasikan Pemerintah Hindia Belanda. “Sayang, ketika itu, pengoperasian alat penyedot lumpur tersebut agak mengganggu jalur pelayaran kapal lalu lintas perdagangan,” beber Mansyur.

Upaya perbaikan sarana pelabuhan dilakukan Departemen der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havens dengan cara menggali sebuah anak kanal. “Nah, pembuatan anak kanal dimaksudkan agar gudang-gudang di dalam kompleks deanne dapat dicapai dengan perahu. Langsung dari sungai, tanpa tergantung pada dermaga schroefpaal. Dengan cara ini aktivitas bongkar muat barang lebih mudah,” papar jebolan jurusan classics and ancient history dari The University of Manchester, Inggris ini.

Pemerintah Hindia Belanda dijelaskan pria yang akrab disapa Sammy ini melakukan peningkatan kondisi fisik pelabuhan antara tahun 1924-1925 kembali dilakukan dengan upaya perbaikan kembali emplasemen douane dengan menggali sebuah kanal.

“Untuk membuat kanap sepanjang 125 meter, Pemerintah Kolonial Belanda menghabiskan dana sebesar fl. 91.355. Ya, setidaknya itulah yang dituliskan dalam laporan Verslag van de Kleine Haven in Nederlandsch Indie, 1924-1925. Selain itu juga direncanakan untuk mengadakan perbaikan emplasemen pelabuhan dengan anggaran biaya sebesar fl. 4.600,”  beber magister ilmu sejarah Universitas Diponegoro Semarang ini.

Mansyur juga mengutip laporan dari peneliti Undip Semarang, Susilowati (2004) yang menyebutkan selain kekurangan di kompleks pelabuhan, pada jalan masuk ke pelabuhan pun terdapat kelemahan. Sebab, pada lokasi sekitar Kota Banjarmasin terdapat semacam teluk.

“Teluk ini mengganggu kelancaran lalu-lintas kapal-kapal yang akan masuk ke pelabuhan. Untuk mengatasinya, Dinas Pelabuhan Pemerintah Kolonial Belanda telah mengusulkan kepada pemerintah melakukan penggalian,” tuturnya.

Dengan menggelontorkan dana jumbo, apakah Pemerintah Hindia Belanda tak takut merugi? Mansyur mengungkapkan dengan mempertimbangkan posisi Banjarmasin sebagai sebuah pela-buhan yang diusahakan (untuk aktivitas perdagangan), maka besamya biaya yang dikeluarkan akan teratasi oleh hasil yang akan diperoleh.  “Sebab,  Pelabuhan Banjarmasin sangat tergantung pada jaringan lalu-lintas air dengan daerah pedalaman,” katanya.

Sementara itu, beber Mansyur lagi,  perairan sungai sekitar Banjarmasin dalam kondisi tidak cukup dalam. Akibatnya pada musim kemarau, ketika permukaan air sungai turun, kapal-kapal uap kecil dan perahu-perahu motor yang akan berlayar ke Kahayan atau kota-kota kecil lainnya di sekitar Banjarmasin tidak dapat menempuh pelayaran dalam. Karena, harus melalui pelayaran laut yang tentunya kurang cocok untuk ukuran kapal-kapal bersangkutan.

“Ketergantungan pelabuhan Banjarmasin pada daerah pedalaman sangat tinggi. Karena itu menurut K. Broersma, dalam tulisannya Handel en Bedriff in Zuid en Oost Borneo, sangat perlu pemeliharaan perairan sungai yang dalam secara terus-menerus,” tutur Mansyur lagi.

Tujuannya, kata dia lagi, seperti dipaparkan Susilowati (2004), agar tetap dapat dilayari menjadi lebih mendesak daripada perbaikan perairan di luar pelabuhan, di mana terdapat endapan lumpur yang tidak mudah dihilangkan. “Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan yang ada, khususnya dengan tersedianya potensi ekspor yang melimpah dari daerah pedalaman, Banjarmasin akan mampu menempatkan diri sebagai pelabuhan terbaik di Kalimantan Selatan,” tuturnya.

Dari segi regulasi, beber dia lagi, status Pelabuhan Martapura sebagai pelabuhan yang diusahakan baru diperoleh pada tahun 1925 dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 19 tanggal 25 November 1925. Kemudian dituangkan dalam Sraarsblad Nomor  60311925. Keputusan itu selanjutnya direvisi dengan besluit Nomor 14 tanggal 17 Oktober 1933 atau Staatsblad Nomor 616 tahun 1933.

Dalam perkembangannya hingga tahun 1942, seperti dalam laporan Susilowati (2004) tepatnya dua hari sebelum tentara Jepang masuk ke Kota Banjarmasin, pelabuhan Martapura dibumihanguskan oleh Pemerintah Hindia Belanda. “Pelabuhan yang cukup ramai itu nyaris rata dengan tanah. Gudang-gudang dan kompleks kantor pelabuhan porak poranda. Bangunan tertinggal hanya jembatan pendaratan (dermaga) sepanjang 248 meter yang sebagian juga rusak karena politik bumi hangus yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda,” beber Mansyur.

Lalu, masih menurut dia, pada masa pendudukan Jepang, Pelabuhan Martapura dibangun kembali. Beberapa fasilitas dibangun seperti  jembatan pendaratan diperpenjang 100 meter lagi sehingga menjadi 348 meter. “Sejak saat itu,  Pelabuhan Martapura memiliki dua dermaga. Pertama, dermaga lama sepanjang 243 meter dengan lebar 10,5 meter di mana lantai dermaga dan konstruksi penunjangnya berbahan kayu ulin (kayu besi). Kedua, dermaga baru sepanjang 100 meter yang lantai dermaganya terbuat dari kayu biasa, tetapi konstruksi penunjangnya dari ulin (kayu besi),” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Museum Troppen Belanda

 

1 Komentar
  1. Idi berkata

    Apakah pelabuhan martapura lama adalah pelabuhan lama saat ini terima kasih.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.