Pilkada : Keuntungan Petahana dan Sisi Gelap Demokrasi

0

KENDATI pesta demokrasi atau pilkada serentak 2018 dihelat pada Juni 2018 mendatang, namun tabuh genderang politik sudah dimulai. Hiruk-pikuk dan suhu politik pun sudah mulai memanas seantero negeri yang menggelar pesta lima tahun memilih calon pemimpin lokal itu.

ELITE partai politik pun mulai menakar harga parpol bagi para kandidat yang mau menyewa sebagai kendaraan politik dalam pilkada serentak. Logika dalam dunia politik tidak mengenal makan siang gratis. Segalanya dikalkulasi secara politik bahwa untuk meraih kekuasaan di era transisi demokrasi, saat ini harga demokrasi sangat mahal.

Para rezim parpol paham betul dalam hal ini bahwa betapa kehadiran partai menjadi signifikan sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan politik.  Oleh karena itu, tidak aneh bila partai menjadi barang seksi yang diperebutkan dengan berbagai macam cara untuk menjadi penguasa partai.

Dengan menguasai partai akan memiliki posisi tawar menawar dalam politik dan ekonomi, juga sebagai arena kolaborasi membangun jaringan patronase politik dan ekonomi. Di era demokratisasi yang berkepanjangan saat ini, para aktor politik, baik di level lokal maupun pusat berusaha membangun jaringan dan mereposisi diri melalui partai politik.

Partai politik sejatinya menjadi artikulasi kepentingan politik publik justru terseret dalam perilaku kartel dan oligarki yang diperjual belikan bagi para calon penguasa. Inilah problem demokratisasi saat ini dimana keberadaan parpol tidak lebih sebagai korporasi yang dimiliki oleh segelintir elite (Lihat Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam Problems of Demoxratization in Indonesia, 2010).

Ketika kekuasaan itu diraih karena mengandalkan kuasa uang dan pola-pola patronase serta klientelisme, maka kekuasaan itu menjelma bagaikan monster yang menakutkan dan akan mengakumulasi sumber-sumber yang ada di sekitar kekuasaan, seperti sumber-sumber politik dan ekonomi secara rakus.

Kekuasaan itu dijadikan instrumen kick back (balik modal) dengan berbagai modus, termasuk menjadikan kekuasaan sebagai instrumen korupsi dan praktik rent-seeking. Maraknya korupsi politik (political corruption) yang dilakulan oleh para pejabat daerah sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari mahalnya ongkos demokrasi yang menyebabkan penguasa yang terpilih dalam pilkada telah tersandera oleh para pemilik modal atau penyokong dana pilkada dengan beragam modus transaksi politik.

Di tengah liberalisasi demokrasi, para aktor yang bertarung dalam Pilkada telah membangun lingkaran oligarki demokrasi yang membahayakan bagi masa depan demokrasi. Dikatakan berbaya bagi masa depan demokrasi karena secara tidak sadar telah menyulam demokrasi yang kering dari jiwa demokrasi sebagai substansi dalam sebagai basis dalam menjalankan pemerintahan.

Oleh karena itu, yang terjadi saat ini justru hanya melahirkan penguasa-penguasa predator melali Pilkada yang diwarnai permainan politik uang. Pada bulan Juni 2018 sebagai pesta pilkada serentak sebagai barometer manakar kualitas demokrasi, khususnya tingkat kualitas politik lokal di Kalimantan Selatan. Setidaknya ada empat daerah kabupaten yang melaksanakan pilkada serentak yakni Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tapin, dan Kabupaten Tanah  Laut.

Keempat kabupaten ini para incunbent akan kembali bertarung dalam suksesi 2018 ini. Beberapa studi literatur dan hasil penelitian seperti dilakukan oleh Sebastian Dettman, Thomas B. Pepinsky dan Jan H Pierskalla dalam tulisannya Incumbency Advantage (2017). Demikian pula tulisan Ilham Yamin Ismail dan kawan-kawan dalam Democracy and Incumbent Political Power Struggle for the Indonesian Regional Head Election (2014),  Edward Apinall and M Uhaib As’ad (2016).

Kajian literatur dan hasil riset itu menjelaskan bahwa incumbent itu mendapatkan keuntungan secara politik dan ekonomi karena menggunakan posisi kekuasaan dan public goods atau infrasturtur politik sebagai modus membangun political branding di tengah publik.

Para incumbent  atau petahana melalui posis jabatan mendapatkan keuntungan (advantage) dibandingkan para penantang. Secara politik, nilai jual dihadapan publik lebih unggul apalagi didukung oleh partai-partai besar. Para kandidat yang baru turun dalam arena pilkada, tentu saja harus melipatgandakan nyali politik dan tidak kalah pentingnya adalah nyali kapital.

Rakyat sudah paham betul bahwa pilkada adalah arena ritualitas distribusi uang dan barang. Inilah sisi gelap demokrasi. Pertanyaannya adalah apakah pilkada serentak bisa melahirkan kualitas demokrasi bagi masa depan bangsa atau sekadar mendaulat calon penguasa daerah predatoris yang akan menggunakan kekuasaan sebagai pelaku korup? Bila mengamati praktik demokrasi yang berjalan saat ini, kehidupan demokrasi telah tergelincir dan dibajak oleh kekuatan modal.

Hanya pemilik modal saja yang bisa menghitam putihkan demokrasi di negeri ini. Apa yang bisa diharap oleh rakyat bila kehidupan demokrasi dikendalikan.para pemilik sementara rakyat sebagai bagian dari kehidupan demoktasi sekadar menjadi obyek dari permainan politik kekuasaan. Allahu A’lam Bish Showab.(jejakrekam)

Penulis : M Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAB

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.