Berasku Sayang, Berasku Mahal

0

BERAS! Mendengar benda yang satu ini sangat bisa diidentikkan dengan masyarakat Indonesia. Karena ada kalimat populer yang menyebutkan “kalau belum makan nasi seperti belum makan”. Kalimat tersebut mencerminkan bahwa nasi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.

NASI terbuat dari beras. Karena itu kebutuhan beras di Indonesia setiap tahunnya tetap bahkan meningkat tergantung dari pertumbuhan penduduk dan laju kenaikan pendapatan mereka. Namun peningkatan permintaan beras ini tidak diiringi oleh persediaan beras negara. Sehingga jika tidak ada keseimbangan antara permintaan dan persediaan barang maka akan terjadi kenaikan harga.

Berdasarkan pemberitaan media massa nasional, pada awal tahun 2018 hingga detik ini harga beras di beberapa daerah Indonesia mengalami kenaikan.  Harga beras telah melampaui batas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sendiri.

Mengacu ke data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata beras medium di Jakarta Rp 14.100 per kilogram, melampaui HET yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram. Angka ini melebihi harga beras pada awal tahun lalu sekitar Rp 9.500. (tribunnews.com)

Beberapa toko dan pedagang beras di Banjarmasin sendiri sudah mengalami kenaikan harga modal pembelian beras yang biasa disebut beras Jawa kurang lebih sejak satu dua minggu belakangan. Seperti dijelaskan H Rahman, pemilik Toko Beras Rahman di Jalan Pasar Pagi Banjarmasin, kenaikan harga beras Jawa di tokonya yaitu di kisaran Rp 200 hingga Rp 500 per kilogram. (BanjarmasinPost.co.id)

Kenaikan harga beras yang terjadi secara terus-menerus harus cepat dan segera diantisipasi. Imbas yang paling ditakutkan adalah kepada rakyat kecil dan miskin yang daya belinya sudah rendah. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah memiliki dua pilihan. Pertama, mengatasi sisi supply (pasokan) dan kedua menanganinya dari sisi demand (permintaan).

Sebenarnya banyak pihak telah meragukan dari sisi pasokan. Mereka mempertanyakan data produksi yang mengatakan pasokan cukup dan aman untuk beberapa bulan ke depan. Kemudian dari sisi permintaan, ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah pada sisi ini yaitu menyalurkan rastra serentak diseluruh daerah dan melakukan operasi pasar secara massif.

Dalam operasi pasar yang dilakukan, dengan sekejap kota-kota yang mengalami kenaikan harga akan dibanjiri oleh komoditas dengan harga di bawah harga pasar. Ini merupakan senjata pemerintah untuk menstabilkan harga dari sisi supply atau penawaran. Namun, apa yang terjadi bila selepas operasi pasar, harga tetap saja bertengger tinggi dan tidak mau turun lagi? Ini tentu sangat menyulitkan masyarakat miskin.

Kenaikan harga beras sejatinya juga mempengaruhi kenaikan harga barang-barang lain. Seperti harga tepung beras karena bahan dasar dari tepung beras adalah beras. Tidak hanya itu, pedagang makanan juga ikut menaikan harga makanannya atau mengurangi porsinya karena kenaikan harga beras yang mempengaruhi kenaikan harga-harga bahan pokok lainnya seperti cabai, bawang dan lain sebagainya.

Seolah belum cukup penderitaan masyarakat, kini lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan pangan yang tidak bijak. Membuka lebar keran import beras menjelang panen raya. Entah demi kepentingan siapa.

Impor beras dari negara-negara yang memproduksi beras seperti Thailand, China dan Vietnam ini mungkin berdampak positif berupa adanya penurunan harga beras yang signifikan di pasaran. Namun dampak negatifnya pun juga besar yaitu harga jual gabah para petani lokal semakin kurang, sehingga banyak petani yang merugi karena teknologi dari pertanian di Indonesia masih kalah modern dibandingkan negara lain.

Keputusan import mungkin bisa diterima tatkala persediaan beras atau pangan negara ini sedang dalam keadaan defisit, bukan surplus seperti masa menjelang panen raya saat ini. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Apalagi bagi masyarakat yang peka terhadap urusan politik serta kondisi terkini politik Indonesia.

Impor beras 500.000 ton bukan jumlah yang sedikit. Kebijakan yang terkesan dipaksakan dan terlihat sangat janggal ini memicu kecurigaan bahwa kebijakan import tersebut adalah modus untuk menggalang dana untuk Pemilu 2019. Karena dibalik tahun politik, rentan kebijakan untuk mencari modal memenangkan pesta demokrasi.

Penguasa berparadigma neoliberal kapitalistik nampak hanya mengabdi pada kepentingan korporasi, bukan kepentingan rakyat banyak, termasuk soal pangan sebagai kebutuhan asasi. Perspektif ini timbul dari kebijakan import yang diambil setelah melakukan rapat dengan para pelaku dagang, yang tak lain para tengkulak, dan mafia pangan.

Ini hanya satu diantara banyak kebijakan ala kapitalis yang secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi menggerogoti negeri ini. Bertahun-tahun masyarakat tertipu dan terbuai dalam arus sekulerisasi. Sudah saatnya masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini mengoreksi aturan dan kebijakan yang diterapkan atas mereka selama ini. Mengapa hampir seluruh kebijakan yang dibuat tidak pernah ada yang murni menyejahterakan kehidupan umum yang menjadi cita-cita mulia bangsa ini dalam pembukaan undang-undang dasarnya.

Dalam sistem negara yang bercorak sekularistik seperti di Indonesia ini, yaitu ketika agama dipisahkan dari pengaturan kenegaraan, akan menyebabkan hubungan dengan syari’at hanya sebagai aktifitas ibadah ritual saja. Sedangkan ketika mengelola negara maka hubungan dengan syari’at menjadi lemah, bahkan tidak ada sama sekali. Hal inilah yang membuat atau menjadi sumber terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan hak dan kewajiban di dalam suatu negara. Jadi, jika Negara ingin mencapai kemakmuran, terlebih dahulu membenahi sistem yang dipakai saat itu.

Jika sistemnya sudah sempurna dan diterapkan juga dengan sempurna, maka begara tersebut akan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan pada masyarakatnya. Dan salah satu sistem yang dapat dijadikan pijakan dalam mengatur pemerintahan suatu Negara adalah dengan mengambil nilai-nilai atau cara-cara yang ditawarkan atau diterapkan dalam agama Islam. Dengan mengikuti secara penuh apa yang diterapkan pada Negara yang berasaskan Islam akan dapat memajukan pemerintahan di Negara Indonesia ini. Tidak perlu ragu. Cukup pelajari lalu terapkan. Wallahu’alam bisshawwaf.(jejakrekam)

Penulis : Dian Puspita Sari

Pemerhati Sosial/Admin Instansi Swasta di Banjarbaru

Warga Pesayangan Martapura

Foto     : Kabartani.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.