Gerhana Bulan, Ketika Bumi Menutupi Cahaya Matahari

0

BERBAGAI mitos dan legenda terhadap fenomena gerhana, apakah gerhana bulan atau gerhana matahari adalah benda langit telah ditelan sang raksasa atau kalakala. Ada pula yang menghubungkan fenomena gerhana bulan total (supermoon) dengan bencana yang telah terjadi atau akan terjadi. Mirisnya, hal itu masih dipercaya sebagian besar masyarakat, khususnya di Indonesia.

KINI, seiring dengan kemajuan sain dan teknologi, khususnya di dunia astronomi, baik gerhana bulan atau gerhana matahari bisa dijelaskan secara ilmiah.

“Sekarang, berbagai fenomena alam bisa disaksikan dari bumi dengan mata telanjang. Ya, fenomena alam seperti gerhana matahari atau gerhana bulan merupakan yang hal biasa dan bisa dijelaskan secara ilmiah, bukan lagi berbicara di tataran mitos,” ujar dosen ilmu falak UIN Antasari Banjarmasin, Ahmad Syaikhu, saat melakukan observasi gerhana bulan di Taman Bekantan, Jalan DI Panjaitan bersama mahasiswa UIN Antasari dan wartawan, Rabu (31/1/2018) malam.

Dengan membawa peralatan modern canggih seperti teleskop, theodolit, dan teropong serta layar lebar agar bisa menyaksikan pergerakan bulan hingga gelap, dan tak terlihat di langit Banjarmasin.

“Kegiatan observasi ini adalah untuk mengedukasi sekaligus menjelaskan fenomena alam dalam sudut pandang ilmiah kepada masyarakat. Sebab, fenomena alam semacam gerhana bulan merupakan salah satu sains,” tutur Syaikhu.

Ketua Lembaga Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (NU) Kalsel ini mengungkapkan dengan pendekatan sains, kini mitos atau mitologi semakin ditinggalkan masyarakat moderan. “Sekarang fenomena gerhana, baik bulan maupun matahari sudah bisa dijelaskan secara ilmiah. Bandingkan dengan dulu, selalu dihubungkan dengan mitos bahwa benda langit itu telah ditelan seorang raksasa dan sebagainya,” kata Syaikhu.

Dia bercerita dulu, ketika terjadi gerhana bulan maupun matahari, sebagian masyarakat termasuk di Kalsel memukul-mukul bedug, pentongan dan berteriak agar raksasa melepaskan mulut ketika menelan matahari atau bulan. “Sekarang hal itu telah ditinggalkan generasi sekarang. Ya, semua itu karena jawabannya ada pada pendekatan sain dan teknologi,” papar Syaikhu.

Menurut dosen Fakultas Syariah UIN Antasari ini, pada Rabu (31/1/2018) khususnya di langit Banjarmasin dalam ilmu astronomi  saat gerhana bulan disebut dengan bulan perigee yakni saat bulan berada pada titik dekatnya dengan bumi. Yakni, jarak bulan ke bumi bisa mencapai 356.400 kilometer saat di perigee.

“Nah, dalam peristiwa gerhana bulan total atau perigee bulan terjadi karena cahaya matahari yang seharusnya ke bulan tertutup oleh bumi. Sehingga, bagian hitam adalah bayangan bumi, sehingga pada malam ini gerhana bulan terjadi total pada pukul 18.59 hingga 00.08 Wita. Sedangkan, durasi gerhana bulan total mencapai 1 jam 16 menit, seiring bergeraknya bulan seperti sedianya pada pukul 00.08 Wita,”  papar Syaikhu.

Dia menjelaskan gerhana bulan total atau super moon terjadi di seluruh wilayah atau kota yang ada di Indonesia  bisa disaksikan dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat seperti teleskop atau teropong, termasuk di kawasan Asia dan Australia, Pasifik dan Amerika Utara sebelah barat. “Yang tidak terlihat, sebagian besar berada di wilayah Amerika Selatan dan Afrika,” kata Syaikhu.

Masih menurut dia, gerhana bulan  maupun gerhana matahari selalu terjadi setiap tahun, dengan frekuensi bisa dua kali bahkan bisa tiga kali terjadi dalam setahun. Akan tetapi, bisa selalu disaksikan di semua tempat dan hanya di kawasan tertentu saja. “Kadang kala bisa disaksikan di Indonesia, tetapi tidak bisa disaksikan di Afrika,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Asyikin

Editor  : Didi G Sanusi

Foto     : Iman Satria

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.