NU dalam Pusaran Konflik Kepentingan Politik

0

INI adalah catatan saya pasca Konferensi Wilayah (Konferwil) Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Selatan pada 22-24 Desember 2017, dan berlanjut pada penyusunan formasi kepengurusan hasil suksesi itu. Tampaknya, konflik internal NU pasca Konferwil NU Kalsel, seakan terus berlanjut.

HAL ini bermula munculnya beberapa personal dari kelompok birokrat dan aktivis yang masuk dalam struktur elite NU Kalsel. Tentu saja, menurut pandangan sebagai aktivis NU tidak mencerminkan nilai-nilai dan kultur NU sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam dan organisasi kader.

Adanya sejumlah personal yang masuk dalam struktur tersebut bukan dari latar belakang kader NU dan hanya sekadar dikaitkan dengan hubungan geneologi sang ayah atau kakek saja sebagai orang NU. Hal ini bisa dimengerti bila sejumlah aktivis atau kader NU yang telah mengikuti tahapan proses pengkaderan memprotes. Di sisi lain, ada personal tidak pernah mengikuti proses pengkaderan atau penjenjangan kader dalam tradisi NU bisa terpilih dalam struktur kepengurusan. Standing argumentasi seperti menjadi rasional. Ada kesan muncul sejumlah elite NU pasca konferwil ini tidak lebih sebagai justifikasi membangun hubungan patronase dengan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dan bahkan dunia.

Sebagai ormas terbesar, tentunya NU patut diperhitungkan yang memiliki basis massa di pesantren, kelas menengah perkotaan dan pedesaan. NU mimiliki tipikal kultur dan sistem nilai yang mengakar kuat, khususnya di kalangan umat di pedesaan. Kultur dan sistem nilai inilah yang membedakan dengan sejumlah ormas di Indonesia dan bahkan dunia. NU memiliki political and social endurance serta mampu bertahan dalam segala cuaca politik dan pemerintahan di negeri.

NU sebagai the Agent of Moslem Cultural Community (jembatan budaya warga Muslim) seperti yang pernah diungkapkan Prof Nouruzzan Ash Shiddiqi dari UIN Yogyakarta. Bahkan, NU memiliki khazanah kultural dan sistem nilai yang bisa beradaptasi dalam dimensi ruang dan waktu. Seiring perjalanan sejarah NU, ormas Islam terbesar di Indonesia ini secara institusional pernah terseret masuk dalam politik dan akhirnya kembali kepada Khittah Perjuangan bahwa NU secara institusi tidak berada dalam barisan politik dan berafiliasi terhadap salah satu partai politik.

Walaupun tidak berafiliasi terhadap salah satu pertai politik, tapi orang-orang NU ada di mana-mana dan masuk dalam berbagai partai politik. Persoalannya adalah ketika ormas terbesar ini didistorsikan menjadi kuda tunggangan untuk kepentingan kekuasaan dan arena membangun jaringan patronase dan klientelisme.

Sejumlah rise politik pasca berakhirnya kekuasaan Orde Baru atau era demokratisasi memperlihatkan bahwa para aktor politik atau penguasa dan pengusaha masing-masing mencari basis-basis patronase dan klientelisme untuk mempertahankan posisi kekuasaan dan bisnis.

Salah satu basis patronase dan klientelisme tersebut adalah primordialisme agama, etinis, juga ormas keagmaan. Pada masa pemerintan Orde Baru Suharto dikenal sebagai the main of patornage resources (sumber utama patronase). Seperti dijelaskan oleh Harold Crouch dalam karyanya Soehato’s Government (1984) bahwa kemampuan Soeharto mempertahankan kekuasaan oligarki selama 32 tahun karena memiliki pilar yang kuat atau basis patronase; antara lain melalui jaringan birokrasi, militer dan Golkar.

Kekuatan pilar ini dijadikan alat mobilisasi dan merepressi rakyat untuk mendukung kekuasaan Orde Baru Suharto. Kini, di era reformasi atau transisi demokrasi, simbol-simbol primordialisme itu dijadikan basis patronase dan klientelisme. Sementara itu alat mobilisasi bukan lagi birokrasi, militer  dan Golkar tetapi dikonversi menjadi uang atau permainan politik uang (money polotics), jual beli suara (vote buying) dan berbagai modus lainnya (Edaward Aspinall and Mada Sukmajati, 2016; Edward Aspinall and M. Uhaib As’ad, 2015, 2016).

Di era demokratisasi yang semakin liar, penjinakan politik massa (domostification political mass) dilakukan dengan berbagai modus. Salah satunya adalah penggunaah politik uang, public goods dan simbol-simbol primordialisme di tengah pragamistme apatisme politik rakyat. Bagaimana posisi NU dalam konstalasi politik lokal?  NU sesungguhnya selalu menarik didiskusikan dan diperdebatkan dalam konteks membaca political landscape di Kalimantan Selatan.

Di Banua ini, NU dalam percaturan politik lokal patut diperhitungkan menjadi basis patronase dan klientelisme politik apalagi menjelang Pilkada Serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019 mendatang, dan tentu saja suksesi Gubernur Kalsel ke depan. Sejumlah pejabat daerah, pengusaha dan aktivis yang masuk dalam struktur NU yang dikomandani oleh Kiai Abdul Haris Makkie dan Bung Berry Nahdian Furqon, menurut pendapat saya adalah fenomena baru dan menarik sepanjang sejarah NU di Kalsel.

Banyaknya NU yang tidak terakomodasi dalam struktur kepengurusan akan menjadi problem di internal NU, cepat atau lambat akan menimbulkan polarisasi dan tidak kondusif untuk soliditas ke depan. Di tengah polarisasi tersebut, bisa saja memunculkan penumpang gelap (free rider) atau orang-orang yang tidak puas atau kecewa dengan kepengurusan yang ada. Oleh karena itu, sebagai ormas yang merepresentasikan komunitas muslim tradisional dan kelas muslim perkotaan, jangan sampai sekadar mengaduk-aduk emosi umat ketimbang mengendepankan common sense umat dalam menghadapi problematika sosial ekonomi dan politik umat.

Semoga struktur pengurus baru NU Kalimantan Selatan masa khidmat 2017-2022 yang terekam indah itu, tidak saja indah dilihat dalam catatan kertas, tapi yang paling penting adalah aktualisasi kerja dan program riil dan terukur.

Sekali lagi, umat saat ini menuntut kerja keras dan membutuhkan organisasi yang solid dan mengedepankan prinsip Good Governance dan merit system, bukan mengedepankan pola primodialisme sempit dan relasi kuasa yang menafikkan kultur dan sistem nilai yang tumbuh dan berakar dalam jantung warga NU.

Akuntabilitas dan profesionalme dalam pengelolaan NU perlu dikedepankan dalam menjawab problematika sosial politik umat ke depan. Allahu A’lam Bish Shawab.(jejakrekam)

Penulis : M Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAB

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.