Demi Meratus, Digalang Perlawanan Hukum dan Sosial

0

BAK bola salju, gerakan penolakan terhadap izin eksploitasi tambang batubara di Pegunungan Meratus, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) menjadi isu yang terus bergulir dan makin membesar. Gerakan penyelamatan Pegunungan Meratus sebagai bentuk perlawanan rakyat Kalsel terus menggaung agar didorong menjadi isu nasional.

IDE-ide gerakan ligitasi dan non ligitasi pun terdengar di ruang dialog Paman_Diran_Urang_Banua yang digelar Forum Komunikasi Lintas Banua di Kedai De Faraz, Jalan Kini Balu, Banjarmasin, Senin (19/1/2018) malam.

Tiga narasumber yang dihadirkan, pakar komunikasi dari FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Fakhriannoor, bersama Ahmad Fikri Hadin (Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Govarnance ULM), serta praktisi tambang, Muhammad Solikin.

Dimoderatori Deddy Permana, diskusi bertajuk tolak penambangan hutan Meratus untuk kelangsungan hidup masyarakat Banua merupakan bentuk kegelisahan atas terbitnya surat keputusan (SK) Menteri ESDM yang mendapat wilayah konsesi tambang di Pegunungan Meratus mencakup Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Tabalong dan Balangan.

“Makanya, masalah Meratus ini bisa dikaji dari berbagai aspek, dari sisi hukum, sosial dan politik. Dari diskusi ini bisa ditindaklanjuti pemerintah daerah, terkhusus Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor untuk mengeluarkan kebijakan yang tak membuat kegaduhan di tengah publik,” ucap mahasiswa S2 Fakultas Hukum ULM ini.

Hal senada juga dilontarkan Ahmad Fikri Hadin. Menurut dosen muda FH ULM ini, isu eksploitasi Pegunungan Meratus telah dibedah dari aspek hukum yang menjadi dasar membatalkan SK Menteri ESDM bernomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017 itu.

“Aspek yang bisa dikaji adalah masalah perizinan, kewenangan dan substansiya. Dari ketiga aspek itu, dalam hukum administrasi bisa saja menjadi dasar membatalkan SK Menteri ESDM,” tutur Fikri.

Magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengungkapkan untuk menggugat SK Menteri ESDM itu bisa dilakukan dengan classaction atau individu dengan mempertimbangkan aspek legal standing. “Untuk yang berpengalaman dalam gugatan lingkungan dan sesuai aturan adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Makanya, kita bisa mendorong Walhi dan kawan-kawan aliansi lainnya untuk menyamakan persepsi,” ucap Fikri.

Sesuai ketentuan dalam menggugat putusan pemerintah, Fikri mengatakan sejak terbitnya SK Menteri ESDM tertanggal 4 Desember 2017, maka butuh waktu 90 hari agar tidak dikatakan kedaluwarsa.

“Segera saja, kalau SK Menteri ESDM ini menciderai kepentingan masyarakat di Pegunungan Meratus, maupun masyarakat Kalsel secara keseluruhan, bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” cetus Fikri.

Sementara itu, Fakhrianoor mengatakan kasus Meratus ditinjau dari komunikasi lingkungan, tentu terbitnya SK Menteri ESDM itu sepatutnya melibatkan Pemprov Kalsel. “Namun yang terjadi justru terjadi lompatan, karena tidak terkoneksi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,” kata Fakhriannoor.

Padahal, menurut dia, jika pemerintah itu berbicara kepentingan masyarakat, maka tidak sepatutnya mengeluarkan izin yang ditolak masyarakat. “Sepertinya, pemerintah pusat tidak membangun komunikasi dan kebijakan yang riil bagi kepentingan daerah. Sepatutnya, Gubernur Kalsel layak tersinggung karena ada komunikasi yang terputus dan tidak demokratis dalam pengelolaan lingkungan. Tak hanya perlawanan hukum, kasus Meratus ini juga harus diperkuat perlawanan sosial dan didorong menjadi isu nasional,” ucap kandidat doktor Universitas Padjadjaran Bandung ini.

Sedangkan, pengurus Asosiasi Pengusaha Pertambangan Kalsel, Muhammad Solikin menilai sepatutnya negara melindungi rakyat, namun justru paradoks dengna terbitnya izin tambang di Pegunungan Meratus yang mengancam eksistensi kehidupan masyarakat Kalsel.

“Secara umum HST adalah wilayah Meratus yang wajib dipertahankan dan tak boleh diganggu gugat. Hutan tropis yang ada di kawasan itu, harus dijaga pemerintah pusat. Ini semua demi menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat adat, ekosistem alam dan wilayah tangkapan air. Apalagi, di kawasan itu dibangun Bendungan Batang Alai yang sangat berdekatan dengan Blok Batutangga yang diizinkan ditambang,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Ahmad Husaini

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.