Lawan Kotak Kosong, Bukti Parpol Gagal Kaderisasi

0

DALAM hitungan bulan, sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, termasuk empat kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan. Ironisnya, ada 12 daerah yang hanya mempertarungkan kotak kosong dengan calon tunggal, termasuk Kabupaten Tapin.

PENELITI Pacer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Willy Purna Samadhi mengakui dalam proses dan peraturan pilkada memang berpeluang menciptakan calon tunggal, dengan hanya memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.

“Pada prinsipnya, terbuka bagi siapa pun untuk mencalonkan diri sebagai kandidat. Namun, pada praktiknya, tidak orang mampu memenui segala persyaratan yang diatur sebagai calon kepala daerah baik parpol atau gabungan parpol serta dari jalur independen,” beber Willy Purna Samadhi dalam diskusi bertajuk Demokrasi dan Kesejahteraan digelar Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakat (LK3) Banjarmasin di Gedung Veteran Kalsel, Jalan Brigjen H Hasan Basry, Kayutangi Banjarmasin, Rabu (24/1/2018).

Menurutnya, persyaratan calon perseorangan juga cukup sulit, terutama harus mengumpulkan bukti dukungan berupa salinan e-KTP sekian persen dari pemilih tetap. “Makanya, jangan heran jika orang yang punya potensi dan kemampuan memimpin akan terkendala. Saya tak kaget kalau di berbagai daerah, termasuk Kalsel, ada pilkada yang harus melawan kotak kosong. Ini semua akibat kaderisasi parpol yang gagal dan sudah menjadi gejala umum,” beber Willy Purna Samadhi.

Menurutnya, parpol tak memiliki program kaderisasi internal yang jelas yang memungkinkan kader partai tumbuh dari bawah, sehingga punya kemampuan untuk memimpin. “Faktanya, coba lihat, banyak partai yang justru mendukung kader partai lain. Apakah parpol itu sudah menjalankan fungsi tradisional dalam kaderisasi politik?ucapnya.

Berry Nahdian Furqon yang berlatar belakang aktivis lingkungan dan menceburkan diri ke dunia politik mengakui sistem demokrasi yang ada sangat memungkinkan seseorang untuk memborong parpol. “Jadi, sistem electoral tak hanya sekadar waktu pemilihan, tetapi dimulai dari proses pendaftaran karena yang secara konstitusional, semua calon berhak meraih dukungan parpol sebanyak mungkin,” paparnya.

Hal ini, menurut Berry, akibat tak ada pembatasan bagi parpol pengusung atau koalisi parpol, sehingga akhirnya konsentrasi ke salah satu figur atau calon tunggal. “Idealnya demokrasi itu harus ada competitor. Namun, konstitusi kita justru memungkinan calon tunggal. Ya, ini bisa saja sebagai kegagalan kaderisasi internal partai, apalagi hanya melirik figur yang dianggap mumpuni. Apalagi, ada anggapan figur lain tak bisa mengalahkan figur yang ada, sehingga akhirnya menciptakan calon tunggal,” beber mantan Direktur Eksekutif Walhi ini.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Ahmad Husaini

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.