Ketika Para Advokat Muda Kalsel Somasi Menteri ESDM

0

BERTAJUK Sans Prejudice, 7 advokat muda yang tergabung dalam Borneo Law Firm (BLF) melayangkan surat somasi bernomor 28/SMS/BLF/I/2018, tertanggal 18 Januari 2018 kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan terkhusus lagi Dirjen Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono di Jakarta.

TUJUH pengacara muda yakni Muhammad Pazri, Muhammad Mauliddin A, Darul Huda Mustaqim, Rachmad Suryadi, Syahrani, Harliansyah dan Lukman Kalua mengirimkan surat peringatan keras kepada Menteri ESDM atas terbitnya surat  Nomor: 441.K/30/DJB/2017 tertanggal 4 Desember 2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Mantimn Coal Mining dalam tahap operasi produksi untuk menggarap lahan seluas 5.908 hektare di tiga lokasi yakni Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Balangan dan Tabalong, hingga 25 Desember 2034.

Dasar penolakan dari Pemkab HST lewat surat Bupati Abdul Latif tertanggal 5 September 2017 dan  bernomor  800/288/DLHP/2017, ke Menteri ESDM mengacu ke hasil rapat membahas PKP2B Blok Batu Tangga untuk PT MCM serta Blok Haruyan untuk PT Antang Gunung Meratus pada 25 Agustus 2017.

Hal ini juga mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) HST secara potensi memang terhadap deposit batubara, namun peruntukkannya khusus eksploitasi tidak dimasukkan dalam RTRW HST. Pemkab HST sebelumnya menegaskan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2006-2025, daerahnya berada di rel pembangunan berbasis lingkungan berdasar Perda Nomor 4 Tahun 2010, dan kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2016-2021, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2016 disebutkan sumber daya yang tidak diperbaharui tidak dieksploitasikan secara maksimal hanya demi kepentingan jangka pendek alias pertambangan batubara tidak diberikan hingga 2025.

Dalam surat BLF juga terungkap soal keberatan atas rencana pertambangan PT MCM di Blok Batu Tangga yang merupakan daerah tangkapan air untuk Irigasi Batang Alai seluas 6.600 hektare, dan sumber air baku bagi PDAM HST dan masyarakat dengan investasi pembangunan lebih dari Rp 500 miliar.

“Dari sini, kami menilai SK Menteri ESDM ini bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Apalagi, masyarakat HST menolak tegas alamnya dieksploitasi batubara. Mereka yakin penambangan tak membuat rakyat sejahtera, malah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan serta dampak sosial masyarakat,” tutur Muhammad Pazri dan kawan-kawan dalam suratnya.

Nah, SK Menteri ESDM ini juga dinilai mengancam kerusakan lingkungan dan ancaman banjir bagi tiga kabupaten di Kalsel.  “Patut dicatat, wilayah HST merupakan atapnya Kalsel yang menjadi benteng pertahanan dan pencegahan kerusakan alam Kalsel, sehingga selalu dijaga turun temurun,” tulis Pazri dan kawan-kawan.

Para jebolan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) juga mengatakan Pegunungan Meratus membentang sepanjang 600 km2, hingga ke perbatasan Kalteng dan Kaltim, karena melingkupi 8 kabupaten di Kalsel.

“Seharusnya, sebelum mengeluarkan surat keputusan, Menteri ESDM terlebih dulu melihat aturan terkait pemanfaatan hutan menurut  Pasal 39 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 4 ayat (1), ayat (2) huruf b, Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang jo Peraturan Pemerintah Nomor  50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2015 jo Pasal 134 ayat (2) dan Pasal 165 Undang-Undang Nomor 4Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” tulis pengacara BLF ini.

Tak hanya itu, BLF juga mengungkapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor9Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015 – 2035, pada Pasal 56 (1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a seluas kurang lebih 521.316 hektar meliputi: a. Kawasan hutan lindung Pegunungan Meratus yang membujur dari utara sampai ke selatan dan sebagian wilayah barat dan timur dari wilayah Daerah. b.Tersebar di Kabupaten Balangan, Banjar, Banjarbaru, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Kotabaru, Tabalong, Tanah Bumbu, Tanah Laut dan Tapin. “Dari sini, SK Menteri ESDM ini telah bertentangan dengan Perda dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” kata Pazri cs dalam suratnya.

Ini belum lagi, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang jadi menjadi acuan Perda Kabupaten HST Nomor 5 Tahun 2015 tentang RJPMD, termasuk kelengkapan dokumen Amdal berdasar  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. “Anehnya, hingga kini, PT MCM belum memiliki Amdal, jadi bagimana proses hingga terbitnya SK Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/201, karena  mengingat banyak peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan menjadi dasar acuan secara yuridis,” tutur Pazri cs.

Atas argumen hukum, Pazri cs pun mengatakan SK Menteri ESDM itu telah melanggar banyak  peraturan perundang-undangan, termasuk asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta ketentuan lainnya.

Somasi BLF ini diberi tempo 7 hari bagi Menteri ESDM untuk membalasnya. Jika tak dipenuhi, Muhammad Pazri dan kawan-kawan mengancam akan mengajjukan upaya hukum gugatan ke PTUN. Surat somasi ini juga ditembuskan ke Presiden RI dan Ketua DPR RI di Jakarta, serta Gubernur Kalsel dan Ketua DPRD Kalsel di Banjarmasin.(jejakrekam)

Laporan Tim Jejakrekam.com

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.