Dilematis Antara Daging Sapi dan Keong Sawah

0

CURAH hujan yang tinggi beberapa waktu terakhir membuat sejumlah area persawahan tak pernah kekurangan air. Air yang menggenangi area persawahan menjadi tempat berkembang biak yang ideal untuk siput air, atau lebih dikenal dengan keong sawah.

PADA musim hujan petani bisa mengumpulkan ratusan keong untuk sekadar dikonsumsi atau dijual ke pengepul. Pengepul keong biasanya menghargai Rp. 15.000 untuk satu kilogram keong. Biasanya perhari, petani bisa mendapatkan satu sampai dua kilogram keong.

Musim keong sawah di musim hujan ini dan harga daging sapi yang mahal di atas seratus ribu perkilogram menguatkan seruan Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman untuk beralih ke keong sawah. Seruan ini dilontarkannya saat makan siang setelah inspeksi mendadak  ke Pasar Cipinang, Senin, 4 Desember 2017 sekitar pukul 14.00 WIB. Saat itu dia menawarkan untuk beralih mengkonsumsi keong sawah.

“Jangan salah keong sawah itu protein tinggi. Celetuk Amran sontak mengundang tawa seisi ruangan. Masih dalam gelak tawa Amran menguatkan ajakannya dengan mengatakan, jika harga daging terlalu mahal maka beralih lah ke keong sawah. “ Apa lagi daging mahal,” kata Amran.

Keong sawah tidak familiar di jual di seluruh wilayah Indonesia. Contohnya saja, masyarakat di Kalimantan tidak terbiasa memakan keong sawah, dan di pasar-pasar tradisional di Kalimantan kita sulit menemukan penjual keong sawah. Keong sawah ini lazim dikonsumsi masyarakat di Jawa seperti di Wonosari, Gunung Kidul. Di sana, Keong sawah banyak diolah menjadi panganan, salah satunya diolah menjadi sate keong, yang kerap dijual  di sejumlah angkringan dan warung makan.

Apalagi untuk di perkotaan, saran mengganti daging sapi ke keong sawah ini kurang relevan karena faktanya sawah yang menjadi tempat berkembang biak keong sawah sudah tergusur menjadi perumahan, pertokoan dan perkantoran. Untuk mendapatkan 2 kilogram keong sawah petani harus menghabiskan waktu seharian mencari di sawah dan untuk 1 kilogram harus mendapatkan ratusan keong sawah, maklum keong sawah badannya tidak sebesar sapi.

Akar masalah mahalnya daging sapi disebabkan swasembada daging di dalam negeri belum berjalan stabil dan maksimal. Padahal, pada 20 Juli 2017 yang lalu Dirjen Peternakan Kementrian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan, upaya pemerintah menciptakan ketersediaan daging yang sehat dengan harga terjangkau sudah tertuang dalam roadmap atau peta jalan swasembada pangan.

Ketersediaan produksi daging sapi lokal tahun 2017 belum mencukupi kebutuhan nasional. Berdasarkan prognosa, produksi daging sapi di dalam negeri tahun 2017 sebesar 354.770 ton, sedangkan perkiraan kebutuhan daging sapi di dalam negeri tahun 2017 sebesar 604.968 ton. (Republika.co.id., 20/7/2017).

Adapun 6 negara penghasil daging sapi terbesar di Dunia adalah Amerika Serikat (11.230.000 ton), Brasil (9.920.000 ton), China (5.760.000 ton), India (4.000.000 ton), Argentina (2.900.000 ton), Australia (2.240.000 ton). Meskipun semua negara ini bukan negara muslim, tidak salahnya jika kita mau belajar kesana bagaimana bisa memproduksi daging sapi sedemikan banyak. Bukan menjadi negara yang mengimpor kelebihan produksi daging mereka.

Roadmap swasembada sapi 2016 – 2026 menuju lumbung pangan dunia dari Kementerian Pertanian sebenarnya sudah bagus. Untuk melaksanakan roadmap yang dibuat sebenarnya tidak cukup pada kapasitas dan kompetensi Menteri (pemimpin) yang cerdas dan amanah saja.

Swasembada daging sapi juga terkait aspek lain seperti mekanisme perdagangan dan kebijakan impor daging sapi yang berada di luar kewenangan Kementrian Pertanian. Pemerintah juga harus memangkas rantai distribusi daging sapi yang terlalu panjang dan adanya dugaan “midle man” (alias calo) pada setiap mata rantai distribusi daging sapi.

Adapun di dalam pandangan Islam, kedaulatan pangan wajib dimiliki oleh negara karena salah satu ciri negara yang memiliki daya tahan yang kuat adalah negara yang mampu menjamin kecukupan pangan seluruh warga negaranya. Kecukupan yang dimaksud adalah terpenuhinya pangan yang halal dan thoyib (baik) perindividu rakyat, bukan total produksi pangan secara nasional tanpa memperhatikan pendistribusian pangan.

Oleh karena itu, masalah swasembada daging sapi harus diselesaikan secara sistematis yang melibatkan seluruh aspek. Misalnya saja, Islam sangat menaruh perhatian pada upaya meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dan sebagainya. Jika ia ditelantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.

Tanah-tanah yang tidak terpelihara dan ditumbuhi padang rumput yang luas bisa dijadikan lahan peternakan. Tugas negara selanjutnya adalah menyediakan bibit sapi yang unggul untuk di berikan secara cuma-cuma ataupun di jual dengan sistem pembayaran lunak tanpa riba sebagai modal awal peternak. Negara melalui penyuluh peternakan juga wajib mendampingi dan mendidik petani bagaimana cara memelihara ternak sapi agar sehat dan tidak terserang penyakit.

Di samping aspek produksi (peternakan sapi) Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti kartel daging sapi, riba, monopoli, oligopoli dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai Islam memberikan solusi terhadap mahalnya daging sapi yang tidak bisa diselesaikan dengan beralih ke keong sawah. Wallahu’alam.(jejakrekam)

Penulis : Nur Annisa Dewi, SE

Staf Layanan Pengadaan Setdakot Banjarmasin

Tinggal di Banjarmasin

Foto      : Voa Islam

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.