Selamatkan Meratus Berarti Menjaga Ruh Kehidupan Kalsel

0

DATA dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan mencatat ini saat ini Kalsel dengan luas wilayah sekitar 3,7 juta hektare, sekitar 50 persennya sudah dikuasai pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Dari total 789 izin usaha pertambangan (IUP), hanya sekitar 100 IUP yang telah Clear and Clean (CnC), sebanyak 425 IUP CnC yang telah dicabut izinnya, serta 264 IUP yang belum ada kejelasannya.

SELAIN elemen masyarakat Hulu Sungai Tengah (HST), penolakan terhadap SK Kementerian ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM) juga disuarakan kalangan mahasiswa.

Puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Banjarmasin menggelar aksi unjuk rasa terkait eksplorasi alam Kalsel di DPRD Kalsel, Selasa (16/1/2018). Kalangan mahasiswa dan kalangan jurnalis, dan penggiat lingkungan mendesak agar ada pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah di Kalsel. Mereka juga menyuarakan agar pemerintah mencabut SK Kementerian ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017.

Koordinator Solidaritas Jurnalis Banua (SJB) Didi G Sanusi mengatakan, penyelamatan kawasan Pegunungan Meratus berarti penyelamatan ruh kehidupan Kalsel.  Menurut anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Biro Banjarmasin Cabang Balikpapan ini, di kawasan Pegunungan Meratus banyak terdapat kehidupan keanekaragaman hayati atau flora dan fauna, serta kehidupan masyarakat adatnya yang ramah dengan alam, termasuk kearifan lokal yang melingkupinya.

“Nah, jika ditambang bukan kehilangan khazanah kekayaan alam tapi juga berdampak pada semua sisi, di antaranya sosial dan budaya masyarakat,” tegas Didi G Sanusi kepada wartawan di Banjarmasin, Selasa (16/1/2018).

Dia mengingatkan, dalam setiap aktivitas pertambangan selalu melahirkan konflik antara penguasa plus pengusaha yang harus berhadapan dengan rakyat. Wartawan senior ini mengungkapkan sudah banyak contohnya, dan hal itu sendiri belum bisa dituntaskan dengan asas kemanusiaan.

“Jika kawasan Pegunungan Meratus, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), maka kita akan mengulang terus menerus masalah yang sama. Makanya, stop izin tambang baru dan benahi yang ada dulu, karena selama ini dampaknya masih terasa,” tegasnya.

Sementara itu, kalangan mahasiswa berpendapat, jika izin produksi itu dibiarkan saja, maka Kalimantan Selatan, khususnya HST, akan mengalami darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sebab, perizinan tersebut berada di kawasan hutan sekunder, permukiman, persawahan, dan sungai.

Terkait hal itu, anggota DPRD Kalsel Supian HK berjanji akan memperjuangkan aspirasi pencabutan SK Kementerian ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 itu. SK Kementerian ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) oleh Mantimin Coal Mining (MCM), menjadi tahap kegiatan operasi produksi, ditandatangani Dirjen Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono, tertanggal 4 Desember 2017, dan ditebuskan kepada Bupati HST, Bupati Tabalong, Bupati Balangan, serta Direksi PT MCM.

Kementerian ESDM memutuskan PT MCM sudah bisa melakukan tahap kegiatan operasi produksi, di tiga titik koordinat, yakni Kabupaten HST, Balangan, dan Tabalong dengan total luas 5.908 hektare, kegiatan operasi produksi diberikan hingga tahun 2034.

Namun, bereda kabar pula bahwa meski Kementerian ESDM telah mengeluarkan SK tersebut, namun jika memang tak ada analisis dampak lingkungan (amdal), perusahaan tak boleh melakukan operasi produksi atau kegiatan pertambangan.

Sementara itu, Kementerian ESDM beralasan, perusahaan sudah memenuhi kewajiban yang tertuang dalam peraturan, namun yang boleh dilakukan operasi produksi hanya di Kabupaten Tabalong, dikarenakan kawasan HST belum dilengkapi dokumen amdal.(jejakrekam)

Penulis : Andi Oktaviani

Editor   : Fahriza

Foto      : Dokumentasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.