Pansus Angket DPRD Banjar, Apa yang Kau Cari?

0

ADA hal yang menarik dan menggelitik pikiran penulis ketika membaca pemberitaan media cetak terbitan lokal. Pertama: tentang pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket oleh DPRD Kab. Banjar terhadap keputusan Bupati KH Khalilurrahman (Guru Kholil), yang melakukan mutasi dan melantik pejabat struktural dan fungsional di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar.

KEDUA soal aksi demo yang mendukung pansus hak angket dan secara paralel mengkritik kinerja Bupati Banjar. Namun anehnya (konon), sebagian dari peserta demonstrasi tersebut warga Banjarbaru dan Banjarmasin, bahkan ada juga dari Barabai. Hal ini jelas melanggar azas wilayah demokrasi, maaf, untuk tidak menyebut sebagai “demo bayaran”.

Dua hal yang penulis maksudkan di atas memang merupakan hak, baik DPRD sebagai institusi perwakilan rakyat daerah, maupun masyarakat sebagai warga negara punya hak menyampaikan aspirasinya. Namun, hak itu tidak bisa digunakan secara serampangan jika mengganggu hak orang lain, melanggar wilayah demokrasi, aturan dan kepatutan etis.

Melakukan demo misalnya, sejatinya pesertanya dari warga masyarakat daerah setempat, bukan berasal dari daerah lain. Jika demonstran tersebut warga luar daerah Kab. Banjar, lantas apa kepentingannya? Dan bukankah hal itu sebagai bentuk rekayasa dan intervensi politik terhadap wilayah administrasi dan kepemimpinan daerah lain. Berbeda halnya kalau mereka (para pendemo) melakukan demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Perlu diingat, bahwa tidak semua aspirasi yang  “diusung” oleh pendemo mencerminkan nilai – nilai demokrasi. Sebagai ilustrasi: “ sekelompok orang mendatangi kantor Bupati, Walikota, Gubernur, dan atau DPRD, meminta kepada pemerintah daerah agar etnis-etnis tertentu yang ada dan berdomisili di Kalsel diusir ”. Apakah aspirasi seperti ini dapat disebut sebagai bagian dari demokrasi dan harus diakomodir, tentu tidak !. Sebab, bisa berimplikasi terhadap gejolak sosial, mengganggu stabilitas nasional, selain bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang – undangan yang berlaku di republik ini.

Kembali kepada topik di atas (pansus hak angket). Mutasi dan pelantikan dalam jabatan struktural dan fungsional yang dipersoalkan oleh DPRD Kabupaten Banjar tidak ada relevansinya dengan kebijakan Bupati yang strategis serta diduga merugikan rakyat, daerah dan negara, sehingga DPRD memandang perlu membentuk pansus hak angket.

Mengangkat atau menggeser posisi jabatan aparatur sipil negara bukan suatu kebijakan, akan tetapi sebuah keputusan. Oleh karena itu, harus bisa dibedakan antara kebijakan dengan keputusan. Yang menjadi pertanyaan? Apakah pansus angket DPRD Kabupaten Banjar tersebut melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah atau tentang keputusan Bupati?

Kebijakan merupakan aturan baku atau pedoman yang digunakan oleh seseorang atau lembaga usaha dalam menjalankan kepentingan yang bersangkutan. Sedangkan keputusan adalah hasil dari musyawarah dan atau pertimbangan sepihak atas pihak lain dalam menyelesaikan sebuah tindakan.

Untuk menguatkan argumentasi penulis, ada baiknya kita menimbang kembali ketentuan dalam pasal 371 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), menyebutkan bahwa hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/ kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.

Kalau yang dijadikan obyek pansus angket berkenaan dengan mutasi jabatan, bukankah hal itu merupaka otoritas Bupati? Kemudian pelantikan didelegasikan pada sekretaris daerah apa tidak boleh? Bahkan camat sekalipun boleh melantik kepala desa jika diberi mandat oleh Bupati. Lantas, pelanggaran aturan yang dilakukan Bupati Banjar letaknya di mana ?

Andaikan ada dugaan penyimpangan dalam mutasi jabatan yang dilakukan oleh Bupati Banjar KH. Khalilurrahman, kenapa DPRD tidak terlebih dahulu menggunakan hak bertanya, sebelum membentuk pansus angket. Jika DPRD “ main loncat “ tanpa meminta klarifikasi kepada Bupati, bukankah hal itu pelanggaran mekanisme yang dilakukan oleh DPRD. Maaf, untuk tidak menyebut sebagai bentuk keputusan “akrobatik politik”.

Menurut hemat penulis, bahwa kerja pansus angket DPRD Kabupaten Banjar akan berakhir tanpa arah dan tujuan yang jelas, karena pijakan aturan dan substansi yang dipersoalkan terkesan membingungkan. Kendati tujuan akhir dari pansus hak angket sebagai upaya politik untuk melenggserkan Bupati KH Khalilurrahman, maka hal itu tak mungkin bisa dilakukan, karena melanggar mekanisme dan aturan itu tadi.

Dengan demikian, kalangan dewan perwakilan rakyat daerah setempat telah “gagal” memahami urgensi hak angket sebagaimana dimaksud pasal 371 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Lantas Pansus Angket DPRD Banjar, apa yang kau cari?(jejakrekam)

Penulis : Dirham Zain

Pemerhati Sosial dan Politik

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.