Demokratisasi Pilkada dalam Cengkeraman Oligarki Lokal

0

SEJAK kejatuhan kekuasaan oligarki Jenderal Suharto pada Mei 1998 setelah selama 32 tahun, Indonesia mengalami proses demokratisasi sebagai peristiwa sejarah drama kejatuhan kekuasaan oligarki penguasa Orde Baru.  Peristiwa  bulan Mei tahun 1998 dikenal sebagai drama kejatuhan kekuasaan politik rezim oligarki Suharto, diwarnai hiruk-pikuk politik dan gelombang demokratisasi   ( populer dikenal sebagai gerakan reformasi politik).

GERAKAN reformasi politik adalah peristiwa sejarah anak bangsa yang berusaha keluar dari kubangan sejarah struktur kekuasaan oligarki  pemerintahan Orde Baru Suharto. Pemerintahan Orde Baru Suharto adalah simbol kekuasaan oligarki, rakyat tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa  suatu saat akan terjadi reformasi politik sebagai tuntutan sejarah yang tidak terelakkan. Reformasi politik  yang melahirkan transisi demokrasi telah berdampak pada perubahan struktur kekuasaan.  Bergesernya struktur kekuasaan, institusi-institusi kekuasaan dan lembaga-lembaga demokrasi, semula berwatak sentralistik-otoriter menjadi lebih demokratis dan terbuka, bahkan saat ini Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di kawasan Asia dan dunia.

Proses demokratisasi saat ini sebagai ikhtiar perjuangan demokrasi dari anak bangsa untuk membangun sistem demokrasi dan meninggalkan rezim oligarki sebagai warisan Suharto, harus diakui telah memberikan sejumlah dampak perubahan penting, terutama dalam konteks demokratisasi politik. Demokratisasi politik telah melahirkan perubahan antara lain pada sistem kepartaian menjadi multipartai, desentralisasi dan otonomi daerah, dan pemilihan daerah (pilkada ) langsung.

Hal ini menjadi daftar harapan atau ekspektasi bagi rakyat untuk membangun sistem demokrasi sebagai cita-cita reformasi yang harus dipertaruhkan dan diperjuangkan terus menerus dan membumikan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita luhur dan mimpi reformasi seiring perjalanan waktu, proses  demokratisasi justru tergelincir  masuk ke dalam praktik demokrasi oligarki baru yang sarat persekongkolan dan  menipu rakyat  yang dimainkan para aktor melalui arena pemilihan kepala daerah (pilkada).

Berakhirnya kekuasaan oligarki Orde Baru tidak otomatis mendorong lahirnya  demokrasi yang menjadi harapan rakyat.Yaitu menghadirkan demokrasi substantif bukan sekadar demokrasi  prosedural atau pasar gelap demokrasi yang menipu rakyat. Demokrasi prosedural yang dipentaskan dari Pilkada ke Pilkada sekedar memunculkan Suhartoisme atau Suharto kecil  bermetamorfosis di daerah, khususnya dalam arena politik lokal.

Situasi politik pada saat ini menyerupai situasi perbanditan  seperti istilah yang disebut oleh Mancur Olson (2000) dimana penguasaan politik dan ekonomi beralih dari bandit besar (strationary bandits) menuju bandit kecil (roving  bandits). Stationary bandits adalah tipe penjarah atau bandit yang mengorupsi uang rakyat tetapi dengan cara yang penuh hati-hati supaya harta jarahan tidak segera habis.

Pada masa rezim oligarki, para bandit ini tidak akan menguras habis wilayahnya. Bahkan, ia akan menjaga wilayahnya, memberikan keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya.

Dengan kata lain, para penjarah ini umumnya menetap alias bertahan lama dalam satu sistem politik represif sehingga mereka perlu memastikan harta negara tersedia untuk waktu panjang. Ini juga supaya rakyat ikut menikmati tetesan harta tersebut sehingga tidak melakukan tindakan yang dapat mengguncang stabilitas politik. Itulah sebabnya Tiongkok merupakan salah satu contoh penting penerapan konsep bandit menetap. Guna melanggengkan kekuasaan sekaligus menikmati gelimang harta negara, para elite politik Negeri Tirai Bambu ini memastikan harta negara tetap tersedia secara memadai bagi seluruh rakyat, meskipun hanya dalam taraf hidup minimal. Inilah tipe penjarah yang paling berbahaya dan hidup di suatu sistem demokrasi yang masih dalam tingkat konsolidasi alias belum stabil. Penjelasannya, setelah rezim represif runtuh muncullah para bandit lain berkeliaran dan kadang mengambil wujud sebagai elite politik baru. Ini menambahkan bandit lama yang memang masih bertahan dalam suatu perubahan politik.

Fenomena seperti itu oleh John T. Sidel (1999) dinamai local bossism (bos lokal)  atau dalam istilah Joe S Migdal (1988) dan Vedi R Hadiz (2011) disebut sebagai  local strongmen (orang kuat lokal) dan predatory (predator). Kemunculan bos lokal, orang kuat lokal dan predatoris yang mengiringi proses demokratisasi menjadi fenomena yang mewabah saat ini. Kehadiran  bos lokal dan orang kuat lokal berkembang seiring dengan penyerahan kewenangan pemerintahan kepada daerah (desentralisasi). Di era sentralisasi fenomena ini jarang ditemukan karena pengelolaan pemerintahan dikelola secara terpusat. Desentralisasi ini dimanfaatkan oleh sebagian elit politik lokal untuk membangun oligarki politik dan ekonomi sehingga memunculkan orang-orang kuat di tingkat lokal.

Seiring perjalanan waktu, proses demokratisasi semakin memperlihatkan demokrasi pradoks yang diwarnai  perilaku praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat yang menyebar pada semua level pemerintahan. Proses demokratisasi yang semakin liar telah memberikan kesempatan bagi para aktor politik untuk menguasai panggung demokrasi di berbagai kekuatan politik yang tersebar dari pusat ke daerah dan menjadikan rakyat  menjadi objek mobilisasi dan alat legitimasi demi memegang kendali atas kekuasaan politik dan ekonomi.

Transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi  yang berkepanjangan, perubahan institusi kekuasaan dan lembaga-lembaga demokrasi yang semakin liberal, atas nama demokratisasi justru membuat sistem politik melahirkan kekuasaan oligarki. Para pemilik modal dan para perampok negara (preadtoris),  menjadi pemegang kekuasaan dan secara liar membagi berbagai konsensi dan privelege kepada kroni politik dan ekonomi dalam skala masif dan sistemik, dari pusat hingga daerah dan meliputi berbagai sektor strategis.

Munculnya sejumlah pejabat daerah pasca Suharto yang berlatar belakang pengusaha yang menguasai panggung demokrasi, sebagai konsekuensi logis mahalnya biaya demokrasi (cost democracy). Sudah menjadi keyakinan politik,  hanya kandidat pemilik modal besar  saja  berpeluang memenangkan kontestasi Pilkada. Hal ini bukan berarti kekuatan uang menjadi satu-satunya penentu kemenangan dalam kontestasi pilkada.

Di era kapitalisasi pilkada, uang telah menjadi mitos pragmatisme bagi sebagian publik yang dipertontonkan para kandidat kepala daerah.  Di tengah pragmatisme  dan persepsi publik yang telah terstruktur bahwa Pilkada adalah  arena distribusi uang (money politics), jual-beli suara (vote buying), dan berbagai macam modus untuk menarik simpatik  rakyat. Penjelasan dan perdebatan teoritik dalam konteks ini lebih jelas dapat dilihat dalam  (Allan, 2012; Aspinall, 2013; Aspinall, 2014; Aspinall and Sukmajati, 2016;  Aspinall dan As’ad, 2015; Aspinall dan As’ad, 2016; As’ad, 2016).

Terkait mahalnya biaya pilkada, para kandidat berusaha mencari dana politik  dengan berbagai modus, termasuk modus menjadikan sumber daya alam (SDA) sebagai basis transaksional oleh para aktor yang terkait soal  izin pengelolaan sumber daya alam, seperti izin pertambangan, kelapa sawit, kehutanan, dan lainnya, sebagai strategi politik  (political strategy)   dalam pilkada.

Pilkada telah direduksi menjadi arena transaksi-pragmatis para aktor politik dan  antara aktor politik dengan massa. Biaya politik (political cost) yang mahal menjadikan pesta demokrasi sebagai arena pertukaran sumber daya (exchange resources)  yang dimiliki para aktor politik.  Penguasa daerah yang berhasil terpilih  akan menggunakan kekuasaan, regulasi, kebijakan, dan proteksi kekuasaan akan mempertukarkan sumber daya kekuasaan  kepada pengusaha yang memiliki kuasa modal. Oleh karena itu,  tidak aneh bila Pilkada hanya sekedar melahirkan penguasa daerah yang mengekalkan politik oligark di tingkat lokal serta mendorong merebaknya praktik shadow state atau informal economy dalam pemerintahan daerah.

Proses demokratisasi sudah tergelincir menjadi kekuasaan oligarki, yakni sekumpulan elite politik yang memiliki basis kekayaan meterial. Para pemimpin partai politik sekarang ini mayoritas adalah pengusaha-pengusaha kaya. Para calon pimpinan daerah maupun Presiden pun para pengusaha kaya yang siap untuk menaikkan citranya di dalam dunia politik. Mereka membeli kekuasaan politik dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Sebaliknya, mereka menumpuk ekonomi (material, kekayaan) dengan cara mencari hidup di politik.

Oligarki sebagaimana digunakan Robison dan Hadiz, bisa juga diterapkan dalam melihat politik lokal di Indonesia. Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik di eksekutif maupun legislatif, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata di tingkat lokal. Kekuasaan tingkat lokal dibagi-bagi di tangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis politik-rente, maupun jaringan keluarga sebagaimana terjadi di beberapa provinsi.

Seperti yang dikatakan oleh Winters dalam bukunya berjudul Oligarchy (2011) yang dikutip oleh Dicky Dwi Ananta, Winters menjelaskan oligarki yang menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan adanya ketidaksetaraan kekuasan politik. Istilah oligarki sendiri diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah). Namun menurut Dicky, pengertian singkat mengenai oligarki tersebut sangat problematis dan tidak memadai untuk mendefinisikan oligarki.

Hal itu karena masih menimbulkan kekaburan makna mengenai oligarki itu sendiri. Apalagi bila itu disematkan hanya pada konsep minoritas yang menguasai mayoritas. Bila konsep oligarki didasarkan pada hal demikian, hampir setiap kekuasaan atau pemerintahan, yang menempatkan adanya minoritas dalam memimpin, maka dapat disebut sebagai oligarki.

Secara konseptual, istilah oligarki telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini sudah muncul sejak jaman Yunani Kuno hingga era sekarang. Konsep oligarki di era modern, tidak bisa dilepaskan dari tiga orang pakar politik Indonesia: Vedi R Hadiz, Richard Robison, dan Jeffrey Winters. Karya Robison dan Hadiz (2004), Reorganising Power: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets, dan karya Winters (2011) berjudul Oligarchy, menekankan keunggulan sumber daya material sebagai kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi. Karya-karya tersebut secara teoretis berbeda dengan konseptualisasi oligarki yang muncul dari tradisi teori kekuasaan elite dan teori elite dalam ilmu politik dan sosiologi.

Hadiz dan Robison menulis tema oligarki untuk menjelaskan fenomena ekonomi-politik di Indonesia pasca-Soeharto. Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru. Sementara Jeffrey A. Winters menekankan motif mengejar kekayaan pribadi dalam mengidentifikasi oligark. Oligark adalah mereka yang menggunakan harta untuk mempertahankan kekayaan yang  berupa individu, bukan lembaga atau instansi. Sedangkan oligarki merupakan politik mempertahankan kekayaan oleh mereka yang kaya. Oligarki, bagi Winters, tidak selalu merujuk kepada tindakan politik yang dilakukan oligark.

Dengan kata lain, dalam koridor pemikiran Winters, seorang oligark tak selalu mesti punya motif politik. Studi lain yang juga berkutat pada tema oligarki dilakukan oleh Nimrod Raphaeli ketika berbicara soal Saudi Arabia. Raphaeli melihat fenomena penguasaan sumber daya ekonomi dan keuangan oleh elite monarki Saudi. Dalam struktur politik monarkis Saudi Arabia, posisi istana memang sangat sentralistik dan berkuasa. Pemusatan kekuasaan ini tidak hanya terjadi secara politik, tetapi menjalar pada penguasaan kapital oleh pangeran dan kerabat Raja (Raphaeli, 2003: 28).

Dari beberapa literatur di atas, menjelaskan bahwa oligarki dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi politik, oligarki merupakan pemusatan kekuasaan pada segelintir elite yang menjalankan urusan publik dengan mekanisme mereka. Hal ini dapat dilihat dari teori Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law Oligarchy)  atau cerita mengenai rezim otoriter seperti Saudi Arabia atau Indonesia era Orde Baru. Kedua, dari sisi ekonomi-politik, oligarki merupakan relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak. Dalam konteks ini,  relasi antara kaum pengusaha (pemilik modal)  dan elite politik yang saling menguntungkan secara timbal-balik.

Dalam perpolitikan saat ini, melalui partai, oligarki menentukan siapa yang menjadi pilihan dan kemudian baru rakyat memilih melalui demokrasi.Politik uang dalam partai menentukan siapa yang menjadi pilihan.Model kekuasaan yang kerap disebut model politik kartel bahkan tampak menggurita.

Fenomena ini masih diperparah dengan hukum yang masih tebang pilih. Figur-figur kuat dan oligark tidak tunduk hukum tetapi hukum yang tunduk kepada oligark.Prinsip-prinsip demokrasi dilindas oleh prinsip untung rugi yang kental tertanam di dalam kapitalisme. Partai sekarang dikuasai para oligarkh yang hartawan

Penguasaan oligark terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan leading, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualism oligark, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara publik dengan partai diperlebar, baik atas hasil rekayasa oligarki, maupun reaksi publik sendiri berdasarkan pengalaman traumatik mereka terhadap partai.

Problem kegagalan fungsi representasi partai, dan ketidakpercayaan publik terhadap partai tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan bisa diselesaikan melalui model pilkada langsung. Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki.

Winter menegaskan bahwa penjinakan terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat.Penjinakan terhadap oligark hanya dapat dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga disebut Winters sebagai criminal democracy; berbanding terbalik dengan Singapura yang dia sebut sebagai “authoritarian legalism”. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz berpendapat bahwa tingkat perubahan politik yang diperlukan untuk menghancurkan hubungan antara kekayaan dan kekuasaan politik di Indonesia (atau di negara lain) pada kenyataannya hanya bisa dicapai melalui revolusi.

Di sisi lain, demokrasi telah tergelincir pada  pusaran oligarki. Oligarki hanya kuat dalam kondisi masyarakat yang lemah secara ekonomi dan politik.Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah kunci suskesnya oligarki. Para politisi oligark akan terus memproduksi kekayaan dan hegemoninya melalui demokrasi yang proseduralNamun demikian walaupun sangat berkuasa, oligarki memiliki “cacat” atau kelemahan.

Oligarki tidak akan tumbuh dan berkembang sangat kuat dalam masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Karena masyarakat sipil paham bahaya oligarki. Saya menutup telaah ini dengan menyimpulkan apa yang dikatakan Winter  bahwa yang paling diperlukan agar siklus oligarki tersebut dapat dipatahkan dan terbentuk sebuah tertib sosial baru adalah revolusi sosial dan politik menyeluruh, baik dalam jalur liberal ataupun jalur lain.

Demokrasi yang menjanjikan harapan akan kebebasan politik  ketika berbagai prosedur, arena dan instrumentasi demokrasi lainnya dibajak oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan kapital dan bermetamorfosis menjadi kekuatan oligarki politik.  Praktek oligarki politik, sebagaimana lazim di banyak tempat, lebih berorientasi pada akumulasi dan perluasaan kekayaan dan meningkatnya  pengaruh ikatan keluarga atau politik dinasti di dalam mengendalikan  kebijakan pemerintahan (Winters, 2011).

Konteks politik Indonesia mutakhir, semakin terasakan betapa demokrasi berada dalam cengkeraman oligarki politik, baik itu yang direpresentasikan oleh kekuatan aktor politik lama produk Orde Baru ataupun produk politik Orde Reformasi. Langgam dan pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran  politik lokal (Prisma, 2014; Robison dan Hadiz, 2004; Hadiz, 2010). Vedi Hadiz menyatakan bahwa desentralisasi di Indonesia memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi “oligarki lokal”. Subyek  tersebut adalah bertahannya warisan Orde baru yaitu kelompok predatoris yang kuat yang mengontrol kekuasaan negara (institusinya dan sumber dayanya) dan dibarengi dengan tidak terorganisirnya gerakan sosial yang independen di masa desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi justru memperkuat posisi ekonomi dan politik  “oligarki lokal” yang predator ketimbang memperkuat masyarakat lokal.

Seiring perjalanan waktu,  proses demokratisasi semakin memperlihatkan situasi paradoks. Di tengah dinamika politik dan kebebasan berdemokrasi warga yang nyaris tidak terkendali,  sebagai refleksi pelampiasan dari kepengapan berdemokrasi yang dirasakan selama rezim otoriter Orde Baru berkuasa.

Para aktor politik telah memanfaatkan transisi demokrasi membangun konsolidasi kekuatan politik atau mereposisi diri memasuki etalase jaringan kekuasaan pemerintahan yang ada saat. Proses transisi demokrasi ini pula telah telah melahirkan arena pasar gelap demokrasi (black market of demokracy), yaitu arena dimana panggung demokrasi telah dikendalikan dan dibajak oleh para aktor politik atau para oligark yang berlatar belakang sebagai pengusaha atau orang-orang yang memiliki kuasa uang. Proses demokratisasi telah melahirkan berkah (blessing) politik. Salah satu berkah politik itu adalah  pemilihan kepala daerah langsung yang sarat dengan keculasan, penggunaan politik uang dan persekongkolan politik

Pemilihan kepala daerah (pilkada) langusung sebagai berkah dari proses demokratisasi, telah menjadikan Pilkada sebagai arena perjudian politik dan  kontestasi erotisme demokrasi secara telanjang di tengah keterbatasan pemahaman dan arti sesungguhnya tentang demokrasi. Bagi sebagian warga, pemahamam mengenai Pilkada dan makna  demokrasi adalah arena perjudian kekuasaan politik yang dimainkan para aktor politik yang berkolabirasi dengan para bandar politik (pengusaha atau pemilik kuasa uang).

Para aktor politik yang berkolaborasi dengan bandar politik itu mengatur irama permainan kekuasaan dalam Pilkada yang diaktualisasikan dalam bentuk distribusi uang atau barang sebagai bentuk mobilisasi untuk mempengaruhi pilihan politik warga di tengah ke-naif-an dan keterbatasan logika politik warga.

Hiruk-pikuk erotisme kebebasan berdemokrasi yang nyaris tidak terkendali telah memberikan struktur kesempatan bagi aktor politik yang memiliki modal besar bertarung memperebutkan kekuasaan daerah. Oleh karena itu, tidak jarang penguasa daerah yang terpilih dalam Pilkada karena keterlibatan peran pemilik modal atau pengusaha yang memberikan dukungan dana kepada salah satu kandidat dengan cara-cara transaksional. Inikah demokrasi  oligarki yang sedang disulam di negeri ini melalui kontestasi elektoral?

Proses demokratisasi pada tingkat lokal dan nasional sedang mengalami proses pelapukan dan kemacetan secara kualitas dan substantif demokrasi. Proses demokratisasi yang sedang berjalan tidak lebih sekedar melahirkan demokrasi oligarki atau mendaulat penguasa-penguasa oligark yang bermental korup dan menyalahgunakan kekuasaan ketika kekuasaan itu telah diraih melalui kontestasi elektoral (pilkada)  dengan modal besar.

Demos (2005) sudah sejak  awal memperlihatkan terjadinya pembajakan aktor politik  terhadap lembaga-lembaga dan prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi  pasca Orde Baru berwatak sangat elitis-predatoris. Robison & Hadiz (2004) melakukan  studi yang menggaris-bawahi bahwa elite predatorial (elit pemangsa demokrasi) yang berbasis partai-partai politik berhasil menguasai panggung politik. Para elite predatorial melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika  politik kartel. Politik kartel manakala partai-partai secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologi dan programnya agar tetap bisa bertahyan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan yang baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka mereka berbagi pso-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis.

Seperti dikemukakan oleh Winters (2011), oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan segelintir elite berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya meterial (kekayaan) sebagai basis mempertahankan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elite melalui kompetisi elektoral yang berwatak elitis yang melahirkan kekuasaan oligarki.

Bagi Winters (2014), munculnya neo-oligark pasca Orde Baru adalah kaum oligark yang tidak ikut terkubur  bersama tumbangnya  pemerintahan Suharto. Kaum oligark yang dulu berada dalam lingkaran kekuasaan Suharto,  kini di era liberalisasi politik sedang berebut posisi kekuasaan di tingkat lokal atau di tingkat pusat. Oligarki di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan  oligarki pasca Orde Baru menyebar  ke dalam banyak kutub persaingan  kaum elite. Pola otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa  dikuasai seorang diktator, sedangkan demokratisasi pasca Orde  Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kontestasi  elektoral. Melalui telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa  oligarki dan demokrasi saling menunggangi.

Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat  lokal. Studi awal yang dikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan  bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan keterputusan kekuasaan elite-elite lama. Yang terjadi bukan hanya  kontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru  munculnya kembali kekuasaan patrimonial pra-kolonial.lokal feodal merebut instrumen-instrumen demokrasi dan mereka me nemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitis-feodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elit-elit lama itu tak jarang berhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini Klinken (2014) memberikan sumbangan temuan riset lain yang juga menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelas menengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis etnis (suku), untuk penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi basis bagi munculnya dinasti-dinasti politik baru di tingkat lokal.

Sementara itu, studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwa surutnya kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi kaki-tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam. Mereka memberikan jasa keamanan untuk berlangsungnya aliansi antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-kekuatan predator lain seperti partai politik.  Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan  fenomena umum proses politik di tingkat lokal. Sama dengan yang  terjadi di tingkat nasional, maka proses politik demokratisasi lokal –  khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkat provinsi maupun kabupaten — hanya mendaur ulang siklus politik elitis-oligarkis.

Penyimpangan demokrasi politik telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penyimpangan praktik Sehingga, praktik penyimpangan demokrasi yang dikeluhkan Jokowi itu, bukan disebabkan oleh demokrasi itu sendiri melainkan oleh oligarki yang menunggangi sistem demokrasi tersebut. Dengan demikian, kita perlu mengetahui apa itu demokrasi Oligarki.

Demokrasi oligarki merupakan istilah yang digunakan oleh Yuki Fukuoka (2013) yang merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di era reformasi. Kebanyakan masyarakat terjebak pada eforia reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orde Baru tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto. Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Soeharto kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkannya.

Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru kembali dikuasai oleh para oligark telah berulang kali dinyatakan, terutama oleh Vedi R. Hadiz. Ia dengan sangat jelas dan tegas mengatakan bahwa “keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama

Upaya pembacaan yang dilakukan Hadiz di atas bisa saja berbeda menurut masing-masing penafsir. Namun, satu hal pasti, bahwa kenyataan rezim politik hari ini benar-benar ada di bawah kuasa para oligark sulit dinafikan. Oligarki sendiri sebagai suatu aliansi cair yang menghubungkan kepentingan para konglomerat kaya raya selalu lihai dalam beradaptasi dengan sistem apapun, baik otoratirianisme maupun demokrasi.

Coba amati, kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik hingga partai politik rata-rata adalah petarung lama. Tidak ada yang baru sama sekali. Para pimpinan (elite) partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet Jokowi, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di dalam lingkar kekuasaan oligarki. Para oligark di atas, termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan Soeharto melalui relasi patron-client. Hubungan kekuasaan lama yang penuh muslihat dan tipu daya semasa Orde Baru, belakangan setelah runtuhnya “Soeharto”, tampil sebagai pejuang demokrasi berkedok populis. Inilah wajah anomali demokrasi pasca otoritarianisme Soeharto. Kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, yang juga notabene adalah milik para oligark.

Dominasi oligarki dalam ranah politik Indonesia terjadi karena kenaifan asumsi reformasi institusional neo liberal yang percaya akan primasi pengelolaan institusi rasional. Kenaifan ini mengabaikan keberadaan relasi ekonomi politik oligarki yang menyejarah. Kemampuan oligarki untuk menaklukkan kekuasaan negara serta melakukan disorganisasi atas kekuatan oposisi masyarakat sipil, membuat proses reformasi institusional neoliberal tidak memiliki basis sosial dan politik yang kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan oligarki dapat mempertahankan dominasi politiknya, yang dengannya merepresi kemungkinan bagi munculnya agensi politik non-oligarki.

Harus disadari bahwa reformasi politik yang beriringan dengan reformasi ekonomi pasca Orde Baru, tidak sama sekali menghancurkan relasi oligarki ini. Kenyataan bahwa lemahnya kekuatan civil society belakangan ini dalam membendung gurita oligarki semakin membuktikan tesis Richard Robison dan Vedi R Hadiz bahwa penguasaan atas politik negara sekaligus disertai disorganisasi kekuatan oposisional yang tercakup dalam elemen masyarakat sipil menjadi dasar historis bagi dominasi oligarki terhadap kekuatan politik non-oligarki. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa perseteruan politik di era reformasi kembali meneguhkan posisi elit lama

Jeffrey Winters, salah seorang penggagas tesis oligarki terkemuka lewat bukunya Oligarchy (2011), mengemukakan bahwa pembacaan terhadap dinamika kekuasaan politik harus didasarkan pada konsentrasi sumber daya kekuasaan yang dimiliki setiap oligark. Tulisnya, “oligark didefinisikan oleh tipe dan ukuran sumber daya kekuasaan yang dikendalikannya”.[ Winters membagi sumber daya kekuasaan mencakup hak politik formal, jabatan resmi (baik di dalam maupun di luar pemerintahan), kuasa pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan material (material power). Khusus untuk sumber daya kekuasaan yang terakhir (kekuasaan material) merupakan basis kekuasaan oligark.

Oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan (sumber daya paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya) Oligark berbeda dengan kaum elit pada umumnya yang cenderung menggunakan kekuasaan non-material. Oligark lebih cenderung menggunakan basis sumber daya material dalam melangsungkan manuver politiknya. Dalam konteks demokrasi, kaum oligark memanfaatkan situasi ketimpangan sumber daya material sebagai peluang memenangkan konstestasi politik (pemilu/pemilukada). Mahalnya biaya politik ditambah mentradisinya politik transaksional belakangan ini semakin mempermudah para oligark dalam menggeser rival politiknya yang tidak memiliki basis material yang memadai.

Tesis oligarki Winters yang melihat kondisi ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem antar-warga senantiasa mengarah pada ketidaksetaraan politik yang juga ekstrem menemukan relevansinya di Indonesia saat ini. Hal ini terbukti di mana momentum pilkada tereduksi semata-mata sebagai ajang pertarungan kepentingan para oligark, bukan urusan menyeleksi wakil rakyat yang kompeten dan berintegritas secara fair dan demokratis. Dalam demokrasi oligarki, rakyat (voters) tidak memilih apa yang mereka kehendaki, melainkan telah dipilihkan oleh segelintir elit kekuasaan yang memegang peran dominatif di dalam institusi demokrasi.(jejakrekam)

Penulis : Muhammad Uhaib As’ad

Dosen FISIP Uniska MAB Banjarmasin

Direktur The School of Democracy and Governance

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.