Ketika Nafsu Berkuasa, Pers Bungkam, Alam pun Rusak

0

ADUUUH…, ke mana dia? Habis jualan di Pasar Tungging, katanya tadi dia mau menjemput, usai aku kerja di Rumah Makan Ma Haji. Jangan-jangan dia men-zenith dan mabuk-mabukan lagi dengan preman pasar itu.

HANDPHONE-nya tidak aktif. Aduuhh, pekik Gusti Desi Citra Wardani dalam penampilan pertama monolog yang berjudul Sekelam Malam, Sehitam Batu Bara karya sutradara YS. Agus Suseno di Gedung Kesenian Balairungsari, Taman Budaya Kalimantan Selatan, Sabtu (9/12/2017) malam.

Di sinilah awal bermula. Di sini pula, semuanya akan berakhir. Tak ada yang lain. Tembuniku ditanam di bantaran sungai ini, jauh di masa silam, saat alam lingkungan dan segalanya masih sedia kala, ketika nafsu berkuasa, kerakusan dan perilaku manusia yang durjana belum merajalela.

Surga seakan turun ke bumi di pagi hari, saat kembang tigarun, rambai, gayam dan jingah merekah; ketika air sungai pasang-surut, ketika ilung hanyut kata wanita tua berpakaian ala Eropa. Dialah Winda Iriyani, pemeran perempuan tua dalam monolog kedua bertema Senjakala di Sungai Martapura, karya sutradara YS Agus Suseno.

“Monolog ini ditulis oleh penulis (Y.S. Agus Suseno) menurut penulis ketika pers tidak bisa berbicara tentang kerusakan alam di Kalimantan Selatan, maka teater yang berbicara melalui kelompok Datamur’’ kata Andi Sahludin, asisten sutradara saat ditemui  jejakrekam.com, seusai pementasan.

Andi Sahludin menjelaskan naskah monolog Sekelam Malam, Sehitam Batu Bara ini syarat akan kritikan sosial tentang kerusakan lingkungan di Kalimantan Selatan oleh pertambangan batubara dan kelapa sawit.

Sedangkan, beber dia, monolog yang kedua Senjakala di Sungai Martapura berbicara tentang tahanan politik masa lalu setelah peristiwa 65 yang tabu dan tidak terekspos secara penuh.

“Oleh karena itu, Kanda YS Agus Suseno menulis (naskah monolog) dan bersama kawan-kawan (batamur) mementaskan naskah ini,” ucap Andi Sahludin. “Selain itu, monolog ini sebagai pembuktian banyak talenta-talenta yang bagus bahwa orang yang bukan latar pendidikan kesenian mampu memberikan pertunjukan yang bagus,” sambungnya.

Pemeran wanita tua, Winda iriyani mengaku kesulitan dalam pengkarakteran karena 180 derajat berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Ia harus memerankan karakter wanita yang sudah berusia lanjut.

Namun, penampilan dua wanita ini tetap mendapat aplausan hangat para penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Balairungsari. Apalagi, totalitas kedua pemeran tunggal ini benar-benar mampu membawa pesan penuh makna dan moral terhadap kondisi kekinian yang dialami Banua.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor    : Didi G Sanusi

Foto      : Ahmad Husaini

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.