Ada Pelangi di Jembatan Merdeka

0

SAYA membaca kritik tentang Jembatan Merdeka dicat warna pelangi baik di medsos maupun melalui web jejakrekam.com pada saat berada di kota Padang. Bagian ini akan saya jelaskan kemudian. Setelah membaca kritik itu saya kira masih di permukaan dan tidak memberikan solusi.

JIKA kita mau berdialektis, tentu lebih baik warna pelangi. Selain memberikan suasana cerah, riang gembira, sebagaimana nyanyian anak-anak juga tidak politis. Bayangkan saja kalau jembatan itu dicat menggunakan salah satu warna saja: merah saja, kuning saja, hijau saja atau biru saja tentu dianggap berafiliasi partai politik. Ini pelangi di poles jembatan, semuanya terakomodasi.

Selain itu, koneksitas satu daerah dengan daerah lain global memang sudah terjadi sejak dulu maka model pelangi ini telah menjalar hingga ke Banjarmasin. Kuat dugaan saya, menara Pisa di Italia, Menara Eiffel di Paris, hingga Tugu Monas di Jakarta menunjukkan pembangunan antar ibukota negara saling menginspirasi. Belum lagi gedung tinggi Burj Khalifa di Dubai, Menara Shanghai, Abraj Al-Bait Clock Tower Mekkah, hingga Menara Petronas di Kuala Lumpur adalah bukti berkaitannya trend dunia. Kita baru mengecat jembatan dengan warna pelangi sudah heboh.

Pun, jika melihat kedekatan dengan Masjid Raya Sabilal Muhtadin, saya kira tidak masalah. Toh warna warni itu tidak dimaksud mengundang pasangan bukan mahram untuk bermesum ria. Inilah sebabnya kritik ini terlalu teknis.

Satu hal yang bisa diterima adalah warna warni itu dapat menutup pandangan terhadap kandang rasi yang bernuansa lokal pada jembatan. Namun, apakah kandang rasi itu diberi warna warni juga?

Saya kira solusi untuk menggalakkan semangat tentang kemajuan kota Banjarmasin tidak hanya melihat aspek fisik belaka. Sebagaimana saya tulis di bagian awal, saya membaca tulisan tentang kritik atas Jembatan Merdeka pada saat mengunjungi kawasan kota tua Padang yang terdiri dari bekas pemukiman Belanda, Tionghoa, Jawa dan di seberangnya adalah pemukiman orang Nias. Kedua kawasan ini dihubungkan oleh jembatan penyeberangan.

Secara fisik jembatan ini biasa saja, tak ada bedanya dengan kebanyakan jembatan. Namun yang menarik ada jembatan itu diberi nama Jembatan Siti Nurbaya. Melalui nama itu, orang dengan mudah mengingat suatu cerita di masa lalu tokoh Siti Nurbaya yang diajak kawin paksa oleh Datuk Maringgih. Oleh karena itu, bangunan fisik apalagi kawasan wisata sebenarnya tidak lepas dari nilai historis dan mitologis yang justru menjadi daya tarik pengunjung.

Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Patung perunggu anak kecil telanjang yang sedang kencing di Brussel, Belgia menjadi latar belakang para turis untuk berfoto. Padahal apa istimewanya anak kecil telanjang, tokh banyak ditemukan di tempat kita, malah bukan patung tetapi anak kecil benaran. Ternyata keistimewaannya adalah pada cerita mengenai hilangnya anak kecil ketika ibunya berbelanja.

Untuk itulah, pembangunan kota Banjarmasin termasuk urusan mempersolek jembatan, pemukiman dan sebagainya tidak hanya melihat aspek fisik meskipun bermuatan lokalitas dan aktualitas saja. Kita perlu menghidupkan kembali nilai-nilai lokalitas berkaitan dengan tempat itu dalam cerita atau kenangan di masa lalu yang dapat menjadi daya tarik untuk dikunjungi.(jejakrekam)

Penulis : Nasrullah

Staf Pengajar Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP ULM

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.