Ketika Arena Pilkada Didominasi Permainan Uang

0

SEJAK kejatuhan pemerintahan Presiden  Soeharto  pada Mei 1998 telah melahirkan transisi demokrasi  dan merubah institusi kekuasaan dan lembaga demokrasi dari sistem  otoriter sistem  demokratis. Di tengah transisi demokrasi, aktor-aktor politik berlomba-lomba membangun instalasi kekuatan politik baru seperti membentuk partai politik maupun bergabung dengan partai politik lama untuk menguasai panggung demokrasi. 

PARA aktor politik kebanyakan berlatar belakang sebagai pengusaha untuk menguasai panggung demokrasi. Para aktor politik membangun konsolidasi demokrasi dan  mereposisi diri  memasuki jaringan struktur kekuasaan sebagai strategi membangun patronase  politik dan ekonomi untuk  menguasai politik lokal  melalui proses kontestasi elektoral yang mengandalkan kuasa kapital atau  politik uang (money politics).

Di tengah kecenderungan kapitalisasi demokrasi, pemilihan kepala daerah (Pilkada)  telah direduksi menjadi arena transaksi-pragmatis para aktor politik atau antara aktor politik dengan massa. Biaya politik (political cost) yang sedemikian tinggi telah  menjadikan pesta demokrasi sebagai arena pasar gelap demokrasi  (black market of democracy) saling mempertukarkan sumber daya (exchange resources)  yang dimiliki para aktor politik dengan pola-pola transaksional. Calon penguasa daerah yang berhasil terpilih akan memiliki sumber daya kekuasaan, regulasi, kebijakan, dan proteksi, pada sisi lain pengusaha memiliki sumber daya finansial atau sumber-sumber ekonomi lainnya.

Secara teoritik, seperti dikemukan oleh Smith (1985) dan Arghiros (2001) dalam Hidayat (2007), “Pilkada secara langsung diyakini akan mewujudkan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis dengan terciptanya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi Pilkada secara langsung akan menjadi paradoks bila dilaksanakan sekedar hanya untuk memenuhi amanah konstitusi  (procedural democracy)  bukan  kesadaran akan pentingnya menghadirkan Pilkada itu sendiri (substantive democracy).

Oleh karena itu, hasil  Pilkada sekadar mengekalkan oligarkhi kekuasaan di tingkat lokal serta mendorong merebaknya praktik shadow state atau informal economy dalam pemerintahan daerah bukan cara untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsip serta terbangunnya political equality  (persamaan hak politik) di tingkat lokal”

Konseptualisasi teoritik yang dikemukakan  oleh Smith (1985) dan Arghiros di atas   mengisyaratkan bahwa para kepala daerah yang terpilih secara langsung akan memberikan loyalitas kepada rakyatnya dan penguatan terhadap institusi-institusi lokal serta pelayanan terhadap publik lebih maksimal. Bila tidak kata Brian Smith,  rakyat yang memilih sekedar hanya mendaulat penguasa  daerah  (local power) yang ingkar janji dan kehilangan loyalitas kepada rakyat. Padahal menurut William Case (2002), Pilkada dihadirkan untuk mewujudkan  substantive democracy,  suatu praktik demokrasi yang tidak saja ditandai oleh eksisnya institusi-institusi demokrasi (democratic institutions),tetapi juga ditunjukkan oleh inherennya perilaku demokrasi (democratic behaviour),  baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi, maupun pada tataran masyarakat (civil society). Bila praktik demokrasi hanya sekedar menghadirkan  institusi demokrasi atau  procedural democracy maka Pilkada semakin menjauhkan dari hakikat demokrasi (substantive democracy).

Penjelasan teoritik Brian Smith dan Willian Case tersebut patut diapresiasi untuk memahami proses demokratisasi di tingkat lokal pada saat ini. Proses demokratisasi di tingkat lokal seperti yang disinggung sebelumnya hanya melahirkan apatisme demokrasi dan   hilangannya kepercyaan (public distrust)  karena proses demokrasi atau Pilkada sekedar memproduksi olegarki baru di tingkat lokal yang sekedar mengabdi kepada kepetingan pengusaha yang telah membandari Pilkada.

Lebih jauh lagi,  Pilkada hanya sekedar melahirkan pemimpin-pemimpin korup di daerah yang dibuktikan banyak pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi. Fakta-fakta ini telah memperburuk bagi tatanan kehidupan demokrasi di negeri ini. Proses demokrasi (Pilkada), juga melahirkan  perilaku persaingan antar kandidat yang timpang.

Kandidat yang memiliki kuasa kapital memiliki peluang lebih besar memenangkan kontestasi elektoral yang mendorong pemborosan ongkos politik karena belum tentu efektif meningkatkan suara karena pemilih tidak benar-membagikan uang di saat kampanye, demikian seperti dikemukakan oleh Edward Aspinall (2004) dalam When  Brokers  Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia. Tidak aneh bila praktik dan kualitas demokrasi sampai saat ini lebih banyak didominasi oleh interaksi  dan kompromi-kompromi kepentingan. Melalui kekuatan kapital, para aktor yang bermain dalam Pilkada  telah mendikte para kandidat melakukan politik transaksionl  dan mobilisasi sumber-sumber pendanaan secara maksimal untuk kemenangan kandidat yang didukung.

Dalam konteks persaingan yang terbuka untuk pemenangan Pilkada, persoalan pendanaan politik (political financial) telah menjadi persoalan krusial. Memang kekuatan uang bukan satu-satunya faktor yang menentukan kemenangan dalam Pilkada seperti dikemukakan oleh Jacobson (1980), akan tetapi telah menjadi keharusan bahwa selama proses Pilkada berlangsung kampanye tidak bisa berjalan tanpa uang. Kuasa uang telah memainkan peran di dalam Pilkada saat ini.

Menurut Nassmacher dalam Ibrahim Zuhdhi Fahmy Badoh, Pendanaan Politik dan Korupsi (2009),  “uang telah mempengaruhi kompetisi politik dan bahkan merupakan sumber daya utama bagi politisi yang ingin merebut kekuasaan atau untuk bertahan sebagai penguasa”. “Hal ini terkait dengankarakteristik uang yang dapat digunakan untuk membeli barang, keahlian dan jasa dalam upaya pemenangan. Sebaliknya, fasilitas, jasa dan barang barang dapat dikonversi sebagai bentuk dukungan pendanaan”.

Beberapa kasus Pilkada di Indonesia seperti tulis dari berbagai hasil penelitian, antara lain:     (Allan, 2012; Aspinall, 2013; Aspinall, 2014, Aspinall dan As’ad, 2015; Aspinall dan As’ad, 2016; Hutchcroft, 2013; Stokes, 2013; Choi, 2011; As’ad, 2016), secara empiris membuktikan bahwa Pilkada telah didominasi oleh permainan politik uang dan transaksional seperti halnya beberapa kasus Pilkada di Kalimantan Selatan mengenai keterlibatan pengusaha tambang sebagai political broker atau suppoting financial untuk memenangkan pasangan kandidat penguasa daerah (Aspinall dan As’ad 2015, 2016; As’ad 2016).

Hadirnya para pengusaha tambang batubara dalam beberapa Pilkada di Kalimantan Selatan sebagai makelar politik sesungguhnya tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik, khususnya terkait penguasaan bisnis sumber daya tambang batubara. Kandidat yang menang atas dukungan pengusaha tambang, akan mengontrol atau mendikte kebijakan pemerintah daerah, khususnya terkait kebijakan pengelolaan sumber daya tambang dan juga proyek infra struktur lainnya. Para pengusaha tambang memposisikan diri sebagai pemerintahan bayangan (shadow government) atau menjadi  kroni politik dan ekonomi penguasa daerah yang terpilih sebagai patron-client.

Terkait hal tersebut, penjelasan Hadiz (2010) dalam Localising Power in Post Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective menjadi benar adanya bahwa proses demokratisasi di tingkat lokal sesungguhnya adalah pertarungan para aktor politik yang memiliki modal kuat dan menjadikan Pilkada sebagai instrumen persekongkolan antara calon penguasa dan pemilik modal. Dalam konteks demokrasi lokal di Kalimantan Selatan, peran pengusaha tambang batubara the player of local politics  telah menyandera demokrasi, yaitu memperkuat jaringan-jaringan bisnis dan politik  karena keterlibatannya dalam Pilkada sebagai penyandang dana atau tim sukses. Oleh karena itu, sekali lagi diteskan bahwa berbagai kebijakan yang dibuat oleh pejabat yang terpilih akan berpihak kepada kepentingan para pengusaha dalam pola permainan rent-seeking.

Untuk mengelaborasi fenomena jaringan bisnis dan politik untuk memperkuat jaringan patronase antara pengusa daerah dan pengusaha tambang di Kalimantan selatan, secara singkat  dijelaskan bagaimana hubungan bisnis dan politik pada masa pemerintahan Orde Baru. Hubungan bisnis dan politik sebagai basis membangun patronase di era Orde Baru itu telah terdesentralisasi mengiringi era demokratisasi saat ini. Di era kekuasaan  Orde Baru, beberapa studi menjelaskan bahwa relasi bisnis dan politik yang melahirkan  praktik oligarki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politik terakumulasi di tangan sekelompok orang karena memiliki jaringan kekuasaan. Hal ini terlihat dari tulisan   Muhaimin (1991); MacIntyre (1992); Liddle (1996); Robinson (1991), dan Kunio (1991).   Jaringan bisnis dalam politik yang terbangun adalah menggunakan institusi kekuasaan dan jaringan birokrasi sebagai sumber legitimasi dan power untuk memperkuat struktur patronase dalam mengelolah kebijakan politik dan ekonomi.

MacIntyre (1992)  mengatakan,  “kebijakan ekonomi politik di era kekuasaan  Orde Baru sarat dengan pola-pola patronase dan pesersekongkolan kepentingan.  Para aktor dan kelompok kepentingan lainnya  berusaha mempengaruhi penguasa sebagai regulator agar setiap kebijakan yang terkait dengan ekonomi akan berpihak kepada kepentingan pengusaha untuk memonopoli sumber-sumber ekonomi dan proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Penguasa serbagai regulator dan pembuat kebijakan, telah memberikan kesempatan bagi para pemburu rente (rent-seeking)”. Para pemburu rente  berkembang seiring semakin menguatnya pola  patronase sebagai penumpang gelap (free rider)  yang berlindung di balik regulasi, lisensi, dan proteksi kebijakan yang diberikan penguasa.

Penggunaan institusi kekuasaan dalam konteks relasi penguasa dan pengusaha sesungguhnya tidak terlepas dari institusi negara yang berwatak predatory state model (Robison, 2001), patrimonial state model (Crouch, 1979), (Jackson and Pye, 1978) patron-client relationship (Muhaimin, 1991), dan rentier state model (MacIntyre, 1991),  para elite politik dan kroni penguasa  Orde Baru telah menjadikan institusi negara sebagai sebagai sumber legitimasi dan power (sources of the legitimacy and power) untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi dan politik Orde Baru. Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Liddle (1985) dan Hadiz (2004) bahwa penguasa Orde Baru penggunaan institusi negara dan birokrasi sebagai simbol legitimasi kekuasaan (symbolic legitimation of power) untuk  mempertahankan kekuasaan oligarki predatoris.

Di era kekuasaan Orde Baru, negara tampil secara dominan dan hegemonik yang merefleksikan predatory state model yang memonopoli sumber-sumber ekonomi dan politik. Dalam hal ini Robison (2001) mengemukakan bahwa predatory state model adalah:

“Predatory states are characterized as being governed by elites who monopolize power  through the use of decision making procedures, weak institutions, and a lack of market competition, so as to generate profits that benefit them rather than society at large”.

Selain negara yang bercirikan predatory state model, juga tampil sebagai rentier state model. Dalam hal ini, ada kemiripan antara predatory state model dan rentier state model, yaitu negara tampil sebagai sumber akumulasi dan monopolistik terhadap sumber daya ekonomi negara. Menurut MacIntyre (1991), rentier state model adalah:

The state has a monopoly on the property of natural resources, their revenues, and the distribution of those revenues. The state aims to use natural resources’ revenues to consolidate its institutional structure. Rentier state’s legitimacy is bound to its ability to continue these welfare functions.

Realitas negara yang bercirikan predatory state model dan rentier state model tersebut, institusi negara  menjadi arena persekongkolan kepentingan dan sumber korupsi bagi para elite.  Dalam Asian Power and Politics: The Culture Dimensions of Authority (Pye, 1988);  dan Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesia State (Winters, 1996). Pye dan Winters memiliki pandangan sama bahwa birokrasi pemerintahan paternalistik telah melahirkan kelompok  predatory interest  dalam lingkaran kekuasaan politik. Pada saat Orde Baru berkuasa, elit-elit Orde Baru, khususnya personal Soeharto sebagai sumber patronase  (the main of source patronage), di era demokratisasi saat ini yang menjadi sumber patronase adalah penguasa yang lahir dari proses Pilkada yang dibandari para kapitalis lokal. Menjelaskan elit-elite Orde Baru dan personal Soeharto sebagai sumber patronase, McLeaod (2010) mengatakan:

“Soeharto’s patronage network began expanding massively, in cluding family and friends who themselves were not often military personnel or bureaucrats. Military, politics, bureaucracy, and business in Soeharto’s Indonesia became fused”.

Hubungan antara penguasa (negara) pengusaha (modal),  modal telah mendominasi peran-peran negara termasuk dalam hal pembuatan kebijakan publik (Miliband, 1969).  Hal tersebut di atas seperti dikemukakan oleh Hadiz (2010), era demokratisasi telah merubah institusi kekuasaan, tetapi tidak  merubah perilaku oligarki dari para elite politik. Transisi demokrasi justru  menjadi arena transaksional dan kompromi-kompromi kepentingan elit penguasa (state actors) pada satu sisi, dan aktor pasar  (market actors) pada sisi lain.

Robison dan Hadiz dalam Marijan (2011), mengatakan bertahannya perilaku oligarki pasca kekuasaa Orde Baru akar persoalannya terletak pada kerangka institusi kekuasaan. Perubahan institusi kekuasaan tanpa diiringi perubahan fundamental dalam struktur relasi kekuasaan dan perilaku politik para aktor.  Para pemilik modal yang terdiri dari sekelompok orang sedikit berjalan tidak asimetris karena modal lebih dominan dibanding kekuasaan  negara. Negara telah menjadi alat dari pemilik modal dan membela kepentingan modal  (Coleman, 1974, Salisbury, 1984). Menonjolnya peran modal di satu sisi dan melemahnya peran negara pada sisi yang lain merupakan ciri penting dari dominasi modal dalam masyrakat kapitalis  (Friedman, 1970, dan Clement 1997),  bahwa sistem ekonomi kapitalis dengan pasar bebasnya merupakan satu-satunya jalan yang cocok dengan kebebasan politik dan demokrasi

Dalam konteks studi ini, sebagai leading argume bahwa proses demokratisasi dan kebeban politik yang semakin liar telah membajak demokrasi melalui kartel bisnis dalam  politik yang diaktulisasikan dalam Pilkada. Politik balas budi terhadap sekelompok aktor menyebabkan kekuasaan pemerintahan menjadi sarang korupsi dan dibajak para elit yang memberikan kesempatan terjadinya peraktik korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan dalam pemerintahan sebagai sebagai konsekuensi dari problem demokratisasi seiring terjadi pola pergeseran kekuasaan dari otoriter menuju demokratisasi  (Aspinall and Mietzner, 2010).

Hadiz  (2004) merujuk pada pendapat Evans (1989) mengatakan, para oligarki predatoris adalah pejabat publik yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dan kerabatnya.   Evans (1989) dalam  Predatory, Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy Perspective on the Third World State mengatakan,  keberadaan oligarki predatoris erat hubungannya dengan keberadaan birokrasi yang patrimonial  (Evans, 1989).

Selanjutnya Evans (1989) mengatakan, keterlibatan pemilik modal yang mempunyai jaringan dengan para birokrat dan politisi yang melakukan praktik persekongkolan kepentingan untuk memonopoli sumber-sumber ekonomi negara bila dilihat dalam perspektif rent-seeking theory dikategorikan sebagai elite capture corruption. Disebut sebagai elite capture corruption karena sumber daya ekonomi negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga, tetapi masuk ke aparatur negara dan kroni bisnis penguasa (Evans, 1989).(jejakrekam)

Penulis : DR M Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAB Banjarmasin

Foto    : Tribun Pekanbaru

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.