Untuk Siapa Pengerukan Alur Ambang Barito?

0

PROYEK pengerukan alur mungkin abadi,  karena harus terus menerus mengeruk alur pelayaran antara Ambang Muara Barito yang terkoneksi dengan Laut Jawa. Lantas untuk siapa pengerukan Alur Barito itu? Tentu jawabannya adalah untuk arus perdagangan barang dan jasa di Kota Banjarmasin, sebagai pintu gerbang Kalimantan Selatan dan mungkin saja Kalimantan Tengah.

BEBERAPA dekade terakhir, alur Barito terus mengalami pendangkalan, terutama di daerah hilir/muara. Mengapa ini bisa terjadi?  Kita bisa melihat aktivitas apa yang ada di daerah hulu Barito? Sebab, sudah  bukan rahasia lagi, jika hutan-hutan di Kalimantan sedang dan terus berlangsung eksploitasi, mulai dari penebangan hingga aktivitas pertambangan.

Akibatnya, hutan semakin banyak yang gundul dan dibiarkan terbuka  menganga.  Bisa dibayangkan bagaimana jika terjadi hujan lebat di daerah hulu, selain air yang melimpah (banjir), air sungai akan menjadi kotor akibat kandungan tanah atau lumpur yang banyak. Itulah yang menyebabkan di daerah hilir alur Barito terjadi pengendapan lumpur yang tinggi.

Faktor utamanya adalah eksploitasi alam yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Lalu, dampak kerusakan alam di hulu tersebut lebih jauh berimbas keaktivitas perdagangan barang dan jasa di Kota Banjarmasin, banyak kapal-kapal yang tidak dapat berlabuh ke Pelabuhan Trisakti. Karena terjadinya pendangkalan di Muara Barito.

Solusi yang dilakukan adalah pengerukan alur Barito? Sejak 2006 DPRD Provinsi Kalimantan Selatan telah membuat peraturan daerah (perda) channel fee atau pungutan di alur pelayanan Barito. Regulasi atau produk hukum yang menjadi dasar pungutan retribusi arus transportasi yang melewati Sungai Barito, khusus angkutan tambang dan hasil alam lainnya. Setiap kapal atau tongkang yang lewat wajib membayar 0.30 sen dollar /ton.

Kontrak pengelolaan dikuasakan ke perusahaan swasta (dalam hal ini PT Ambapers) dengan kesepakatan: hasil retribusi, pemerintah provinsi mendapat 8% dari total keuntungan.  Tahun ini pihak swasta tersebut menyumbangkan dana sebesar Rp 24 miliar, ini berarti total retribusi yang dikelola pihak swasta tidak kurang dari Rp 300 miliar.

Berapa ton hasil sumber daya alam yang keluar jika retribusinya Rp 300 miliar? Misalkan, 1 buah tongkang pengangkut batubara bisa memuat 5.000-7.500 ton, maka setiap tongkang wajib membayar retribusi sebesar 1.500-2.250 US Dollar. Jika dikonversi ke nilai rupiah, dengan asumsi Rp 13.000 /dollar, maka retribusi per tongkang adalah Rp 19,5 hingga Rp 29 jt. (Kita ambil nilai tengahnya 25 juta/kapal/tongkang). Ini berarti dalam setahun bisa terkumpul hingga Rp 300 miliar, maka per bulan bisa mencapai Rp 25 miliar. Atau rata-rata per hari Rp 800 juta.

Dari data Rp  800 juta di atas, misalkan rata-rata per tongkang bayar Rp 25 juta. Maka sedikitnya ada 32 tongkang yang melewati alur Barito per hari. Atau, sedikitnya 160 ribu ton hasil alam keluar setiap harinya. Bayangkan berapa juta tonase hasil alam yang keluar per tahun? Sedikitnya, ada  57,6 juta ton !! Lantas, siapa menikmat hasil alam ini??

Padahal, eksploitasi terus berlanjut, solusi kerusakan lingkungan belum terjawab.  Setelah 10 tahun perda retribusi alur Barito, ada wacana untuk merevisinya. Wacana yang muncul adalah pelebaran retribusi ke wilayah perdagangan barang dan jasa (di luar tongkang). Tentu wacana ini akan berdampak, naiknya harga barang dan bahan pokok yang masuk melewati pelabuhan Trisakti. Ini akan menambah permasalahan!

Namun, suatu saat hal itu pasti akan terjadi. Harga barang-barang dan kebutuhan pokok akan menjadi tambah mahal, karena setiap kapal yang masuk ke alur Barito mau tidak mau, suka tidak suka wajib membayar. Mengapa? Karena sumber daya alam itu tidak terbarukan, suatu saat nanti akan habsi, kita tidak akan lagi melihat kapal-kapal tongkang yang lewat mengangkut batubara. Seperti yang pernah terjadi pada bahan kayu. Akibatnya sumber pendapatan tidak ada lagi, untuk membiayai pengerukan alur.

Maka apa yang kita dapat? Hasil alam habis, lingkungan rusak, dan tak mampu lagi mengeruk alur Barito karena kekurangan biaya. Harga-harga akan meningkat. Lalu untuk siapa sebenarnya pengerukan alur Barito saat ini? Dari sekarang, mari dipikirkan dampak yang akan dirasakan dimasa yang akan datang, bagaimana pembangunan yang berkelanjutan di Banua? Sebuah catatan kecil semoga bermanfaat untuk pembangunan Banua.(jejakrekam)

Penulis : Akbar Rahman

Staf Pengajar Fakultas Teknik ULM

Kandidat Doktor Universitas Saga Jepang

Foto     : Skyscraptercity.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.