Walhi Kalsel Persoalkan Izin Sawit Kedaluwarsa di HSU

0

DUA izin perkebunan kelapa sawit berskala besar di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) telah habis masa berlakunya. Wilayah ini sejak lama di kelola masyarakat dan negara dituntut untuk memberikan pengakuan wilayah kelola rakyat.

DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan izin prinsip bernomor 522/146/Hutbun dan ESDM itu diberikan Bupati HSU Abdul Wahid pada 26 Oktober 2016 kepada PT Sinar Surya Borneo (SSB) dengan luas 8.000 hektare.  Tiga tahun sebelumnya terbit izin lokasi dengan nomor 414 tahun 2013 untuk PT Hasnur Jaya Lestari  (HJL) seluas 10.079 hektare.

Ia menjelaskan berdasarkan diktum yang termuat di dalam Surat Bupati HSU, kedua izin tersebut berakhir setelah 48 bulan (izin lokasi) dan 12 bulan (izin prinsip).  “Izin prinsip PT. SSB telah berakhir pada 26 Oktober 2017 dan izin lokasi PT  HJL berakhir pada 23 Juli 2017. Sedangkan, izin PT  SSB berada di Kecamatan Danau Panggang, Paminggir, Amuntai Selatan, dan Kecamatan Haur Gading.  Sementara, izin PT HJL  berlokasi di Kecamatan Paminggir, Danau Panggang, dan Babirik,” tutur Kisworo Dwi Cahyono dalam siaran persnya yang diterima jejakrekam.com, Minggu (12/11/2017).

Menurut dia, izin yang sebelumnya diduga telah melanggar Instruksi Presiden (Inpres) ini kini telah kedaluwarsa.  “Bupati HSU talah menerbitkan izin sawit skala besar yang berada di ekosistem rawa gambut saat berlakunya masa moratorium,” tuturnya. Ia menegaskan penundaan izin untuk upaya penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut telah jelas tertulis dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2013 dan Inpres Nomor 8 Tahun 2015.

Senada Kisworo, Manajer Data dan Kampanye Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat mencatat ekosistem rawa gambut yang ada di Kecamatan Danau Panggang dan Kecamatan Paminggir memiliki potensi plasma nutfah yang besar. “Gambut di Kecamatan Amuntai Selatan memiliki kedalaman sampai dengan empat meter berada pada wilayah berhutan.  Kedua izin ini, berada pada wilayah yang berstatus kawasan hutan,” ucapnya.

Rizqi menyebut lokasi kedua izin merupakan wilayah yang sudah sejak lama dikelola masyarakat sebagai sumber kehidupan mereka. “ Mencari ikan di rawa dilakukan nelayan tradisional sejak pertama kali mereka berada di wilayah itu. Beternak kerbau rawa mereka lakukan sejak turun temurun. Kerbau rawa merupakan spesies endemik Kalsel memiliki keunikan dan jumlah populasinya yang besarmenjadi ikon peternakan Kalimantan Selatan,” kata Rizqi.

Bahkan, menurut dia, masyarakat berhasil menaklukan rawa sejak empat sampai lima generasi. “Mereka menggangap tidak perlu ada sawit di wilayah mereka, apalagi sebagai sumber kehidupan. Masyarakat sebenarnya menginginkan pengakuan negara terhadap wilayah mereka,” paparnya.

Ditambahkan Kisworo Dwi Cahyono lagi, Presiden RI Joko Widodo telah mengakomodir pengakuan wilayah kelola rakyat.  “Kebijakan itu juga telah tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016  tentang Perhutanan Sosial.  Ada 12,7 juta hektare kawasan hutan negara dan 9 juta hektare tanah negara yang akan diserahkan ke rakyat melalui skema TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Kebijakan yang juga dikenal dengan reforma agraria ini menjadi jawaban bagi pengakuan wilayah kelola masyarakat secara legal. Kebijakan ini seharusnya didukung oleh pemerintah daerah, bukan malah mendukung sawit untuk perusahaan,” paparnya.

Aktivis lingkungan yang akrab disapa Cak Kiss ini mengungkapkan lima kecamatan di HSU berpeluang besar untuk diakui wilayah kelola masyarakatnya. Sebab, HSU memiliki  alokasi untuk perhutanan sosial nomor dua terluas di Kalimantan Selatan, seluas 36.369,83 hektare.

“Wilayah ini juga yang pernah dibebani izin lokasi sawit. Separuh dari total luas PIAPS (Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial) di HSU adalah izin lokasi dan izin prinsip sawit. 97 % dari izin lokasi PT  HJL dan 82 % izin prisip PT SSB adalah wilayah PIAPS,” paparnya.

Untuk itu, Cak Kiss mendesak pemerintah daerah seharusnya menujukan keperpihakannya kepada masyarakat, bukan malah mengancam sumber kehidupan mereka “Rakyat saja masih belum mendapatkan akses legal atas tanah airnya, padahal NKRI sudah merdeka 72 tahun,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Asyikin

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Dok Kisworo Dwi Cahyono

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.