Kalsel Itu Kaya Batubara, Tapi Faktanya Miskin Listrik

0

TIKUS mati di lumbung padi. Listrik mati di lumbung energi. Sungguh paradoks apa yang dialami Kalimantan Selatan. Sebagai provinsi terkaya dengan tambang batubara, justru terus mengalami krisis listik. Padahal, emas hitam dikeruk dalam perut buminya justru menerangi pulau lain atau negara lain.

DISKUSI  menggelitik ini terjadi di Aula Soedjono, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, bertajuk Mati di Lumbung Energi, Kamis (2/11/2017). Guru besar hukum tata negara yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, Ketua LPJK Kalimantan Selatan Subhan Syarief, Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Pemerintahan Daerah (Inde-Pemda), Erfa Ridhanie serta Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) ULM, Ahmad Fikri Hadin, mengakui fakta itu.

Sebagai putra kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan, Denny Indrayana pun mengatakan adanya tambang batubara dan segenap potensi alam justru faktanya tak menyejahterakan warga Kotabaru.  “Malah Kotabaru  bukan mengalami kemajuan, justru kemunduran. Ya, dibanding daerah lainnya di Kalsel, padahal banyak tambang batubara dan lainnya,” beber Denny Indrayana, di hadapan puluhan peserta diskusi tersebut.

Mengapa itu terjadi? Menurut Denny, pola relasi antara penguasa dan pengusaha masih bersifat koruptif, ijon atau transaksional, maka sumber daya alam Kalsel itu justru bukan membawa manfaat, malah lebih banyak mudharat. “Seharusnya, mata rantai hubungan koruptif antara penguasa dan pengusaha. Ini adalah tugas penegakan hukum yang bersih dan tegas. Kalau hukum tak bisa ditegakkan, ya terpaksa revolusi perbaikan hukum, bukan hanya perubahan aturan,” ujar mantan staf khusus Presiden SBY ini.

Menurut Denny, hal itu juga bisa didukung dengan terjadi perubahan kultur di tengah masyarakat, khususnya dalam memilih pemimpin yang tidak tergoda akibat politik uang. “Kalau masyarakat masih terima uang ratusan ribu, maka jangan harap terjadi perubahan. Makanya, kalau ingin memperbaiki keadaan ini, pilihlah pemimpin yang bersih bukan memilih karena uang,” tuturnya.

Denny pun mengatakan sudah menjadi fakta di Indonesia, bagi daerah yang memiliki SDA yang kaya, maka pemimpin daerah kerap koruptif. “Ini adalah tugas masyarakat untuk mengubah kultur dalam memilih pemimpinnya,” tandasnya.

Sedangkan, Subhan Syarief lebih menyorot tiga sumber daya alam (SDA) Kalsel yang pernah membawa jaya provinsi, namun akhirnya meredup. Jebolan magister teknis ITS Surabaya ini dulu Murung Pudak, Kabupaten Tabalong adalah salah satu daerah penyumbang minyak terbesar di Indonesia. “Lalu berlanjut dengan kayu yang melahirkan puluhan konglomerat di Kalsel. Begitu hutannya habis dibabat, kemakmuran pun tak dirasakan warga provinsi ini,” cetus Subhan.

Lalu, giliran batubara yang jadi primadona pada 1990-an, Subhan juga melihat justru degradasi alam yang harus dibayar warga Kalsel. Lagi-lagi, warga Banua menjadi buruh di kampung sendiri, bukan majikan. “Ini adalah bukti terjadi kutukan sumber daya alam, dikarenakan kita salah dalam mengelolanya,” ucapnya.

Sementara itu, Ahmad Fikri juga menyorot ironi Kalsel sebagai penyuplai batubara untuk pembangkit listrik di Pulau Jawa dan negeri lainnya seperti India, Tiongkok dan lainnya justru mengalami krisis listrik. “Ironisnya lagi, saat ini ada 162 desa yang belum dialiri listrik. Ini adalah gambaran bahwa Kalsel memang kaya batubara, tapi miskin listrik,” kata dosen muda FH ULM ini.

Menimpali argument Fikri Hadin yang mengungkapkan agenda rutin byarpet listrik oleh PLN turut menjadi sebuah bukti, Erfa Ridhanie pun melihat ada pola yang salah dalam pengelolaan SDA di Kalsel. Dia mengakuri ketika SDA yang ada di Kalsel dari minyak, hutan hingga batubara, terbukti tak mampu menyejahterakan rakyat Kalsel. (jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Didi GS

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.