Skenario Berbahasa Banjar, Sebagian Dialog Diubah

0

PENGGARAPAN film Banjar yang disutradarai Irwan Siregar dinilai mengesampingkan talenta lokal. Hal itu, terlihat dari penggunaan para pemain utama yang didatangkan dari Jakarta. Terhitung ada empat aktor dan aktris Jakarta dikontrak untuk film semi kolosal ini.

PADAHAL menurut sineas lokal Ade Hidayat, alih bahasa dari Bahasa Indonesia di naskah skenario ke Bahasa Banjar sangat sulit. Apalagi, kata Ade, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Banjar zaman dulu.

“Kita Orang Banjar dengan bahasa kekinian sekarang saja susah untuk menggunakan Bahasa Banjar zaman dulu. Apalagi ini orang luar yang tak bisa sama sekali Bahasa Banjar. Pasti tambah susah. Dan kalaupun bisa, inguh (rasa) Bahasa Banjarnya akan hilang, karena bukan logat Banjar,” ujarnya.

Sulitnya melapalkan teks Indonesia menjadi Bahasa Banjar ini terbukti dialami salah satu pemain utama film tersebut. Eggy Fedli, yang berperan sebagai Pengeran Antasari beberapa kali pengambilan gambar kesulitan menghafal dialog dalam Bahasa Banjar. Akibatnya, ada beberapa dialog yang harus disederhanakan karena sulitnya dihapal.

Bahkan, ada satu pengambilan gambar yang harus diulang. Karena, ia tidak sanggup lagi menghafal dialog dalam Bahasa Banjar. Yaitu pada pengambilan gambar scene 45, adegan di rumah Pangeran Antasari. Pada scene ini, ia mendapatkan empat dialog.

“Kenapa hanya untuk pemeran Pangeran Antasari harus jauh-jauh mengambil dari Jakarta? Kalau hanya mencari karakter perawakan, ada kumis, dan umur tua itu persoalan gampang. Banyak orang di sini yang seperti itu. Saya sudah menduga pemeran utama pasti kesulitan mentranslate bahasa, karena bahasa di naskah Indonesia. Pemeran utamanya juga terlalu sederhana tidak persis seperti psikologi pahlawan kita, karena dari intonasi pelapalan beda. Yang ada hanya dari perawakan fisik. Saya meyakini karena dalam dialog film ini banyak pemakluman karena sulitnya mentraslate bahasa. Yang menentukan pemain kan orang-orang sutradara,” kata Ade.

Menurutnya, karena sulitnya mengalih bahasa itu memerlukan banyak waktu. Sehingga, wajar saja jika ada scene yang diubah atau bahkan ditiadakan. Namun, kata Ade, jika scene diubah maka akan mengurangi nilai kesejarahan. “Film ini kan untuk pembelajaran bukan dikomersilkan. Kenapa harus nyari aktor atau aktris yang komersil? Itukan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kenapa tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada pemain-pemain lokal saja,” tuturnya.

Ade mengatakan, penggunaan aktor luar dalam film sejarah daerah bisa dikatakan bentuk ketidakpercayaan terhadap pemain lokal. Belum lagi, menurut Ade, para pemain lokal yang mendapatkan beberapa peran tidak ada kejelasan kontrak kerja dari penggarap film. “Ini sama saja orang daerah diremehkn, PH (rumah produksi) luar meremehkn kita. Para pemain lokal juga sampai sekarang tak ada kejelasan kontrak kerja. Sangat disayangkan, harusnya utamakan pemain lokal. Kenapa harus pakai aktor luar, padahal penggunaan kata-kata lebih banyak Bahasa Banjar. Pihak PH kenapa mengutamakan pemain luar? Apa mereka merasa ini film milik mereka, padahal pendanaannya bersumber dari pembiayaan pemerintah daerah kita,” tegasnya.

Ia mengaku, lebih setuju menggunakan aktor atau aktris nasional keturunan Banjar. Semacam Olla Ramlan atau yang lainnya. Sebab, untuk menerjemahkan ke Bahasa Banjar zaman dulu tentu lebih mudah. Dan juga, logat Banjar yang dicari akan didapatkan.
Bukan hanya itu, Ade juga mempertanyakan hasil riset penggarap film. Sebab, ada beberapa cerita dalam naskah yang tidak sesuai dengan sejarah sebenarnya. “Yang tidak sesuai sejarah juga adalah penentuan pemeran Umanya Bulan (Hamelia Putri), dia kan Arab hidung mancung. Benarkah aslinya Umanya Bulan keturunan Arab? Ini riset dari mana menentukan pemeran seperti ini,” bebernya.

Ditambahkan Ade, seharusnya untuk menjaring talenta lokal bisa dilakukan dengan jemput bola. Hal itu, sambunnya, juga sebagai penghargaan kepada para pemain. Sebab, di Kalsel tidak kekurangan pemain. Sanggar teater di Kalsel dengan para pemain yang sudah manggung puluhan tahun jumlahnya sangat banyak.”Hanya departemen casting saja kurang giat mencari. Casting bisa open dan close, atau ngundang pemain secara  langsung,” imbuhnya.

Sebelumnya, penggagas film Pangeran Antasari, Yadi Maryadi menyatakan, terpaksa mengambil pemain dari Jakarta dikarenakan minimnya pemain teater senior yang ikut casting. “Tadinya kita berharap mereka yang akan menjadi pemeran utamanya orang lokal.
“ Tapi karena hasil seleksi tidak ada yang sesuai, mau tidak mau akhirnya kami sepakat untuk merekrut pemain profesional dari Jakarta. Ini sangat disayangkan karena kesempatan sangat terbuka bagi mereka. Tapi saya bisa maklum, mungkin karena kesibukan atau alasan lain makanya tidak bisa ikut,” tutur Yadi.(jejakrekam)

Penulis : Wan Marley

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Facebook

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.