Rugikan Nelayan, Peraturan Menteri Susi Harus Dikaji Lagi

0

MASA dispensasi penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang dikabarkan berakhir pada Desember 2017, menjadi momok dan meresahkan nelayan kecil.

KELUHAN terhadap penerapan peraturan yang dibuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengemuka dalam dialog Ikatan Nelayan Saijaan (Insan) Kotabaru, didampingi Direktur Eksekutif Walhi Kalsel dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan di Banjarbaru, Selasa (31/10/2017).

Selama ini, bagi para pelayan Kotabaru, regulasi dari pemerintah pusat jelas mengganggu aktivitas penangkapan ikan, khususnya beberapa alat yang dilarang seperti cantang dan lainnya.

“Kami meminta agar kebijakan ini jangan dulu diterapkan. Sebab, antar daerah di Indonesia berbeda cara penangkapan ikannya. Makanya, kami memohon agar pemerintah memperhatikan nasib nelayan kecil yang ada di Kotabaru,” ucap Ketua Insan Kotabaru, Zainal Abidin kepada jejakrekam.com, usai dialog dengan pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel.

Menurutnya, walau ada program pengganti alat tangkap dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, justru semua alat itu telah pernah digunakan di laut. “Justru alat itu tak pernah berhasil, malah menambah beban biaya. Sebab, dua hingga tiga bulan alat tangkap pengganti dari pemerintah itu akan hancur,” beber Zainal Abidin.

Senada Zainal, Sekretaris Insan Kotabaru Saberan menambahkan sebelum ada Permen LP Nomor 71 Tahun 2016 itu, sejak 2014 para nelayan di Kotabaru telah menemukan alat yang jauh lebih efektif dan ramah lingkungan saat menangkap ikan di laut. “Nah, kalau pemerintah menginginkan, saya siap membuat alat tangkap ikan yang ramah lingkungan dan bisa menjadi bahan kajian,” tuturnya.

Zainal menegaskan bahwa para nelayan yang ada di Kotabaru tak pernah memakai cantrang. Menurutnya, selama ini menggunakan alat tangkap ramah lingkunga seperti lempara dasar mini yang sudah dimodifikasi. “Alat tangkap ini mengapung dan tidak menghajar terumbu karang. Jangankah terumbu karang, terkena ranting atau kayu saja, sudah robek jaringnya. Alat ini untuk menangkap ikan dan cumi,” ujar Zainal.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mendesak agar Permen LP Nomor 71/2016 perlu dikaji ulang kembali. “Sampai sekarang belum ada kajian yang dilakukan pemerintah, khususnya untuk nelayan Insan Kotabaru,” ucap Kisworo.

Aktivis lingkungan yang akrab disapa Cak Kis ini mengatakan apa yang diterapkan para nelayan Kotabaru justru lebih ramah lingkungan dengan memodifikasi alat tangkap yang ada. “Makanya, kami meminta agar Gubernur Kalsel (H Sahbirin Noor) harus turun tangan menyikapi regulasi pemerintah yang akan merugikan para nelayan. Sebab, dampak dari regulasi ini sangat besar, khususnya bagi nelayan kecil baik secara ekonomi, kesehatan dan pendidikan anak-anaknya,” tuturnya.

Dampak lain yang dirasakan, menurut Cak Kis adalah para peternak itik Alabio yang turut tergantung dari pasokan ikan sebagai pakan ternak dari para nelayan Insan Kotabaru. “Seharusnya, kebijakan pemerintah itu tetap memperhatikan kearifan lokal dan ramah lingkungan. Nelayan kecil atau tradisional sudah teruji masalah itu di lapangan,” ucap jebolan Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat ini.

Sebagai bukti, Cak Kis menunjukkan bahwa para nelayan tradisional hingga kini masih bertahan di antara maraknya pelabuhan khusus batubara dan padatnya lalu lintas tongkang atau kapal besar. “Hingga limbah yang mengganggu ekosistem laut,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Polres Kotabaru

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.