Air yang Layak Konsumsi Merupakan Hak Dasar Warga

0

AIR yang layak minum bagi warga negara sudah sepatutnya dijamin negara. Ketentuan itu sudah digariskan dalam konstitusi di negeri ini. Namun, faktanya, justru air yang telah dijamin UUD 1945 sebagai induk dari seluruh peraturan perundang-udangan telah berubah menjadi barang komersil, bukan lagi produk sosial.

PENGAMAT hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ahmad Fikri Hadin justru melihat hal itu berbeda pada praktiknya. “Kita patut beriri dengan negara-negara di jazirah Skandinavia di Eropa, justru air di sana bisa langsung diminum. Padahal, yang namanya air leding itu sudah berarti terjamin dan bisa dikonsumsi, tanpa ada ketakutan lagi,” ucap dosen muda FH ULM ini dalam diskusi terbatas bertajuk perspektif pengelolaan PDAM kabupaten dan kota di Kalsel, gawe bareng Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kalimantan Selatan bersama media online jejakrekam.com, Sabtu (28/10/2017).

Menurutnya, hak-hak masyarakat untuk mendapatkan air yang layak konsumsi sudah sepatutnya dijamin negara, dalam hal ini perwakilannya adalah pemerintah daerah. “Padahal, air leding seharusnya digratiskan, bukan malah dibayar mahal,” kata magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Fikri yang juga Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Govarnance (PARANG) Universitas Lambung Mangkurat ini mengaku bingung dengan fenomena yang terjadi di PDAM Bandarmasih. “Pengenaan tarif progesif kepada pelanggan, yang notabene adalah warga kota ini jelas makin membebani masyarakat. Apalagi, di tengah kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) dan lainnya. Nah, hal semacam ini jelas sangat bertolak belakang dengan hak dasar bagi warga yang telah dijamin negara,” ucapnya.

Senada itu, Darul Huda Mustaqim dari Borneo Law Firm (BLF) mengatakan sudah sepatutnya pengenaan tarif air leding itu disesuaikan dengan kemampuan bayar masyarakat Banjarmasin. Termasuk, bisa mengacu pada upah minuman provinsi (UMP). “ Sangat  jelas, dari Permendagri Nomor 7 Tahun 2004 mengatur soal keterjangkauan dan keadilan dalam menentukan tarif air minum. Namun, hal itu sepertinya diabaikan di PDAM Bandarmasih,” cecar advokat muda ini.

Begitu pula, Direktur Institut Demokrasi dan Pemerintahan Daerah (Inde-Pemda), Erfa Ridhani juga mengaku bingung ketika aspek bisnis jauh lebih diandalkan, dibandingkan fungsi sosial. Dia mencontohkan ketika PDAM Bandarmasih menggandeng perusahaan swasta dalam memproduksi air dalam kemasan. “Sepatutnya, kepuasan pelanggan didahulukan. Terlebih lagi sekarang jangkauan pelayanan sudah 99 persen, bahkan 100 persen, PDAM Bandarmasih sudah seharusnya memberi pelayanan terbaik. Ini juga menyangkut kepentingan warga yang telah dijamin peraturan perundang-undangan,” tutur magister hukum Universitas Indonesia (UI) ini.

Menariknya, langkah Erfa Ridhani yang mengajak warga Banjarmasin, khususnya peserta diskusi untuk menggugat classaction walikota, PDAM Bandarmasih dan pihak terkait justru mendapat sambutan hangat dari Ketua DPC Peradi Banjarmasin, Abdullah. “Nah, jika penanaman modal pemerintah kota lewat penyertaan modal dari APBD Banjarmasin itu keliru, warga kota bisa melakukan gugatan kepada walikota dan DPRD. Termasuk, soal pengenaan tarif yang memberatkan, bisa digugat classaction ke pengadilan,” tandas Abdullah.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Asyikin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.