Ibnu Hadjar yang Tersisih, Bangkit Bersama Rakyat Tertindas

0

SOSOK Ibnu Hadjar begitu melegenda di benak rakyat Kalimantan Selatan. Pejuang sekaligus dicap pemberontak di era revolusi fisik kemerdekaan Republik Indonesia ini selalu melahirkan sebuah perdebatan panjang. Padahal, Ibnu Hadjar adalah teman seperjuangan pahlawan nasional revolusi Kalimantan, Brigjen TNI Hassan Basry yang turut mengharumkan para kesuma bangsa.

SISI gelap dan terang seorang Ibnu Hadjar pun dikupas dalam perspektif sejarah sosial, dengan menghadirkan sejarawan kawakan nasional, Prof DR Anhar Gonggong dan sejarawan Banjar FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Yusliani Noor di Gedung Serba Guna Unlam, Banjarmasin, Kamis (26/10/2017).

Diceritakan Anhar Gonggong, pasca merdeka justru militer Indonesia mengalami masa yang sulit dan rumit. Menurutnya, saat itu, tentara tak didirikan dengan susunan yang rapi, namun terlahir dari sebuah revolusi nasional. “Setidaknya, dalam tubuh ketentaraan Indonesia pasca kemerdekaan itu terdiri dari unsur bekas KNIL, PETA, dan kelompok laskar yang dibentuk dari berbagai latar belakang ideologi.  Untuk menyeimbangkan dana dan administrsi TNI itu, Kabinet Hatta pun mengadakan reorganisasi dan rasionalisasi,” tutur Anhar.

Doktor ilmu sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas  Indonesia mengakui dari program ala Hatta ini membuat para pejuang yang tergabung dalam berbagai laskar akhirnya tersisih. Mereka dinyatakan tak memenuhi syarat, padahal sedari awal turut berjuang bagi kemerdekaan Republik Indonesia.

“Mereka tersisih dan akhirnya kecewa. Ini pula yang dialami Ibnu Hadjar. Sebagai pejuang yang turut bertarung dalam mempertahankan kemerdekaan, tapi kemudian merasa dicampakkan,” tutur Anhar.

Dia pun menduga kuat para pejuang yang melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Jakarta, akibat faktor psikologi, yakni kecewa dan frustasi. “Dalam mempelajari sejarah, kita harus melihat dan berusaha memahami kondisi ketika peristiwa itu terjadi. Bagaimana konteks politik dan masyarakat, saat peristiwa itu terjadi,” bebernya.

Termasuk Ibnu Hadjar. Menurut Anhar, saat itu masih berusia 22 tahun, sehingga faktor usia juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan, meski Ibnu Hadjar sadar akan menghadapi situasi yang sulit ketika harus berhadapan dengan pemerintahan yang sah.

Berbeda dengan Anhar, sejarawan FKIP ULM, Yusliani Noor mengungkapkan ditolaknya Ibnu Hadjar dalam kesatuan tentara yang mengarah modern, akibat tak bisa membaca dan menulis huruf latin.  “Ibnu Hadjar hanya pandai membaca dan menulis Arab Melayu. Makanya, ketika Ibnu Hadjar dikirim ke Pulau Jawa untuk sekolah dengan beberapa pejuang lainnya, justru sekolah yang ditunjuk pemerintah itu sudah tutup,” beber Yusliani Noor.

Ia mengatakan kondisi itu membuat Ibnu Hadjar dan kawan-kawan merasa dibohongi pemerintah.  “Ketika kembali ke Balikpapan, Ibnu Hadjar juga mendengar keluhan dari kawan seperjuangannya yang diperlakukan tak adil oleh pemerintah saat itu. Dia pun bangkit dan terpanggil untuk membela kawan-kawan seperjuangan dari rakyat Banjar dan Dayak Bukit yang tertindas,” kata Yusliani Noor.

Untuk merespon gerakan pemberontakan Ibnu Hadjar dan kelompoknya di Kalimantan Selatan, pemerintah Indonesia memerintahkan Hassan Basr untuk menangkapnya. “Justru, Hassan Basry tak tega menangka teman seperjuangan. Makanya, Hassan Basry mengajak Ibnu Hadjar agar menghentikan gerakan perlawanannya,” kata dosen sejarah ini.

Penolakan datang dari Ibnu Hadjar dan kelompoknya. Tuntutan mereka hanya satu, menuntut keadilan dari pemerintah karena selama ini tak diperlakukan dengan adil.  Menurut Yusliani Noor, pasca Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan dihancurkan, Ibnu Hadjar bersama kelompoknya bernama Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) harus berhadapan dengan Hassan Basry,yang sama-sama besar dalam ALRI Divisi IV Pertahanan A (Kalsel). “Ironis memang, sang komandan harus menumpas anak buah sendiri. Namun, karena perintah negara, Hassan Basry mau tak mau harus melaksanakan dan tak bisa mengabaikannya,” katanya.

Rupanya tugas yang diemban Hassan Basry itu dianggap gagal oleh Soekarno di Jakarta. Akhirnya, Mayor Sitompul mengambilalih misi penumpasan terhadap para gerilyawan yang dikomando Ibnu Hadjar.

“Tak salah, ketika Ibnu Hadjar akhirnya menerima tawaran Kartosuwirjo yang menawar kursi di Negara Islam Indonesia yang telah dideklarasikannya. Makanya, nama markas Ibnu Hadjar pun berubah menjadi Istana Islam Merdeka,” katanya.

Sikap Ibnu Hadjar tak pernah kalah dan menyerah itu membuat kharismanya makin mengakar dan menjadi tokoh legendaris di tengah masyarakat Kalsel. Bujukan dan iming-iming dari Hassan Basry, sempat ditolak Ibnu Hadjar. Hingga akhirnya, Ibnu Hadjar menyerahkan diri.  “Saat itu, Hassan Basry menjanjikan akan meminta pengampunan bagi Ibnu Hadjar kepada pemerintah pusat. Termasuk,janji untuk naik haji ke Tanah Suci Makkah,” beber Yusliani Noor.

Makanya, Ibnu Hadjar yang dikenal dengan sosok Haderi yang lugu akhirnya keluar dari tempat persembunyian dari pedalaman Kalsel. Dia disambut bak pahlawan oleh masyarakat dan anak buahnya. Bahkan, anak buahnya yang merasa perjuangan sang komandan itu memberi rasa adil, menggelar pesta dengan memotong 20 ekor kerbau.

Janji tinggal janji. Menurut Yusliani Noor, begitu sampai ke Banjarmasin, justru Ibnu Hadjar ditangkap dan dibawa ke Pengadilan Militer di Jakarta, hingga dihukum dalam penjara bawah tanah. “Makanya, bagi masyarakat yang berempati kepada Ibnu Hadjar, tetap menganggapnya seorang pahlawan. Sebab, Ibnu Hadjar merupakan sosok pejuang yang setia kepada republik ini,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

 

Penulis Siti Nurdianti
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.