Sejarah Perang Banjar dalam Film Tak Boleh Dikaburkan

0

PENGGARAPAN film semi kolosal Perang Banjar menuai polemik. Film bergenre aksi heroik dan sejarah perjuangan Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda di kawasan Pengaron, Kabupaten Banjar, serta kawasan lainnya diklaim menjadi wahana edukasi bagi masyarakat Banua.

“SAYA  mengaminini jika (Gubernur Kalsel) Paman Birin berkeinginan menjadikan film semi kolosal Perang Banjar sebagai edukasi’’ kata Ade Hidayat, salah satu sineas lokal kepada jejakrekam.com, di Banjarmasin, Minggu (22/10/2017)

Ade berpendapat karena penggarapan film ini bersumber dari dana APBD, maka sepatutnya ada pertanggungjawaban yang akuntabel dan transparan. Sebagai bentuk transparansi, menurut Ade, adalah jumlah nominal dana yang dikeluarkan pemerintah untuk penggarapan film yang cukup banyak melibatkan para pemain baik lokal maupun nasional ini.

“Mekanisme dan sejarah yang mau diangkat dalam film Pangeran Antasari karena polemik yang ada. Bahkan, di mata para netizen,  epos Perang Banjar yang diangkat masih simpang siur, apakah perang versi Pangeran Tamjidillah II atau Pangeran Antasari, karena perang Banjar begitu banyak versinya. Dan, tema perang yang diambil setting yakni ketika terjadi penyerbuan Benteng Oranje sekaligus tambang batubara milik Belanda di daerah Pengaron,” ujar Ade.

Ia mengatakan polemik akan terus menggelinding, jika tak segera diluruskan. Salah satunya yaitu proyek tender film menelan dana Rp 2,9 miliar itu sejak awal adem ayem, tiba-tiba sudah ada pemenangnya.

“Kan, aneh ini penunjukan atau tender itu perlu ditanyakan, karena tiba menggunakan rumah produksi atau PH  MD Entertaint. Ternyata belakangan koran lokal mengungkap PH tersebut mengklaim tidak menggarap proyek itu dan menuntut pihak dinas terkait untuk meminta maaf atas penggunaan logonya,” tutur Ade.

Sineas muda ini juga menyoal masalah ketidakjelasan sutradara dan juga pemain film Perang Banjar ini, belum lagi dalam dialognya menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa Banjar. ‘’Jika melihat skenario yang tersebar pun punya masalah berbeda. Skenario dibikin dengan bahasa Indonesia, jika memang benar ini untuk mengungkap cerita sejarah mengapa harus berbahasa Indonesia?’’ ungkap Ade.

“Alasan para pelaku cukup klasik. Mereka menyebut karena ingin menasional, anak SMP pun tahu jika ingin mengakali film berbahasa daerah cukup menggunakan subtittle untuk membantu menerjemahkannya. Jika mengatasnamakan pendidikan seharusnya sejarah tidak dikaburkan,” cecarnya lagi.(jejakrekam)

 

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.