Ngotot Full Day School, Guru Madrasah Ancam Boikot

0

KEBIJAKAN full day school alias sekolah seharian penuh telah diprotes hebat berbagai pihak, termasuk yang dimotori ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU). Mengapa? Ya, gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy itu bakal mengancam keberadaan sekolah berbasis agama, dikarenakan pembelajaran hanya terfokus di sekolah umum atau reguler.

TERLEBIH lagi, total lembaga penyelenggara pendidikan sekelas madrasah diniyah (MD) di Kalimantan Selatan mencapai 517 unit. Nah, jika kebijakan full day school itu benar-benar diterapkan, maka banyak MD harus gulung tikar karena murid sekolah dasar (SD) harus belajar seharian di sekolah.

Resah dengan wacana yang ingin direalisasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, Dewan Pengurus Wilayah Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPW FKDT) Kalimantan Selatan pun mengeluarkan curahan hatinya. “Jangankan full day school, kegiatan seperti pramuka, baris berbaris atau les saja sudah mengganggu aktivitas belajar di MD. Tambah, sistem sekolah seharian penuh itu, tentu makin menimbulkan kerancuan dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya lagi di Kalsel,” kata Ketua DPW FKDT Kalsel, Ustadz Ahmad Bahruni saat berdialog dengan Kepala Kemenag Provinsi Kalsel, Noor Fahmi, Rabu (12/7/2017).

Kekhawatiran Ahmad Bahruni dan beberapa ustadz yang beraudensi itu cukup beralasan. Ia mengakui saat ini Kemendikbud memang telah memberi acuan dalam penerapan full day school yakni melibatkan lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah atau lembaga seni budaya berada di sekolah reguler. “Tapi ya itu tadi, tetap saja tak ada lagi murid di MD atau lembaga pendidikan keagamaan lainnya,” ujar Bahruni.

Dia menilai kebijakan full day school itu sama saja mengamputasi keberadaan madrasah diniyah. Padahal, menurut dia, pendidikan karakter yang diharapkan dalam kebijakan sekolah seharian penuh itu tak harus memangkas apalagi menggilas MD. “Yang kami khawatirkan adalah jika nantinya metode pembelajaran di sekolah umum itu justru ditangani guru yang sembarangan, bukan lulusan pesantren atau standar pengajaran keagamaan sesuai kurikulum yang disusun Kemenag, tentu paham radikal bisa saja diajarkan di sekolah,” tutur Bahruni.

Dia berharap agar kebijakan full day school itu tetap sejalan dan saling melengkapi antara sekolah reguler dengan madrasah, karena berdampak secara nasional jika tetap dipaksakan memusatkan proses pembelajaran di sekolah umum. “Makanya, jika tetap ngotot dilaksanakan, seluruh FKDT di Indonesia akan menggelar demonstrasi. Memang, kami tak ingin memilih jalan ini, karena kami berharap bisa duduk bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalsel,” ucap Bahruni.

Dan, Bahruni menegaskan FKDT mendesak agar Kemenag bersama Disdikbud Kalsel bisa menerbitkan surat edaran atau kesepakatan bersama mengenai tata cara pengisian belajar mengajar sistem full day school tersebut. “Kami akan segera surati Disdikbud Kalsel untuk mendorong itu,” cetusnya.

Jika terjadi masih terganjal jalan buntu, Bahruni pun mengatakan seluruh ustadz dan ustadzah yang tergabung dalam FKDT akan memboikot pendidikan umum atau reguler, dan mendorong agar orangtua atau siswa memilih pondok pesantren salafiyah yang menerapkan kurikulum madrasah dan sekolah umum. “Saat ini, kami punya pesantren salafiyah ula setara dengan 6 tahun belajar di SD, salafisyah wustho setara SMP, dan uliya atau aliyah setara SMA. Cara ini jauh lebih efektif untuk memboikot penerapan full day school,” tandasnya.

Menjawab hal itu, Kepala Kanwil Kemenag Kalsel H Noor Fahmi meminta pengelola madrasah tak perlu khawatir dengan penerapan kebijakan sekolah seharian penuh itu. “Saya rasa tak ada penurunan murid di madrasah diniyah. Buktinya, hingga sekarang masih eksis,” katanya. Dia hakkul yakin walau terbit nantinya Peraturan Mendikbud terhadap sistem full day school itu tak akan berpengaruh terhadap madrasah diniyah.  “Kami akan carikan solusi. Rencananya, kami akan duduk bareng dengan Disdikbud Kalsel membahas masalah ini,” ucap Noor Fahmi.

Menurutnya, sebaiknya menunggu apa yang terjadi dalam penerapan sekolah harian penuh itu, karena tahun pelajaran belum berjalan. “Nah, kalau nanti memang diterapkan di sekolah, baru aka nada aksi. Ini termasuk untuk kegiatan belajar agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis : Wan Marley

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Wan Marley

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.