Prahara Partai Ka’bah di Bawah Atap Rumah Besar

0

KETIKA terpecah, nyaris dalam sejarahnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sulit bersatu lagi dalam satu rumah besar. Partai yang merupakan fusi empat parpol berasaskan Islam pada 5 Januari 1973 ini seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) ini selalu melahirkan sempalannya, dan tak pernah sepi dari intrik dan konflik.

KELAHIRAN PPP memang tak lepas dari dua peran besar faksi NU dan Parmusi yang merupakan gabungan 16 organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Al Irsyad dan lainnya.  Ide penggabungan ini diarsiteki Jailani Naro, bukan atas desakan Soeharto selaku patron era Orde baru, ketika melahirkan UU Nomor 3 Tahun 1975 yang mengharuskan adanya tiga parpol yakni PPP, Golkar dan PDIP pada Pemilu 1977.

Era perpecahan itu dimulai Naro yang melakukan kudeta DPP Parmusi di bawah Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun pada 1970 dalam Muktamar yang digelar pada 1970. Naro merupakan Ketua DPP PPP dua periode sejak 1978-1984 dan 1984-1989.

Ketika NU memutuskan kembali khittah 1926 dalam Muktamar NU XXVII di Situbondo, pada 1984 yang berdiri netral di atas semua golongan dan otomatis keluar dari partai. Sedangkan, saat itu, faksi NU dimotori KH Yusuf Hasyim merasa dirugikan dengan sikap ormas Islam terbesar di Indonesia itu. Hingga akhirnya, pada 1989, Ismail Hasan Metareum menjadi Ketua Umum DPP PPP, menggantikan Naro yang mulai tak disukai Orde Baru. Mengapa? Pada Sidang Umum MPR 1988, Naro mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden RI yang ditolak peserta muktamar.

Begitu memasuki era Reformasi, PPP tak pernah aman dari konflik. Adanya inflitrasi penguasa dalam tubuh parpol Islam ini sangat kental. Buktinya, ketika Hamzah Haz memimpin PPP dalam dua periode 1998-2003 dan 2003-2007, sengketa kembali terjadi di partai Ka’bah ini. Walhasil, pada 2002, lahir PPP Reformasi yang dimotori KH Zainuddin MZ, hingga akhirnya pada 2003 berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR). Meskipun nasib parpol ini tak berlangsung lama dan berakhir pada Pemilu 2009.

Konflik juga terjadi antara Suryadharma Ali (SDA) dari faksi NU dengan Bachtiar Chamsyah yang merupakan Ketua Majelis Pertimbangan DPPP PP dari Parmusi, pada 2007. Hal ini dipicu pemecatan Irgan Choirul Mahfiz dari kursi Sekjen DPP PPP oleh SDA yang kemudian menjadi Menteri Agama RI dari kursi sekretaris jenderal (sekjen).

Nah, sekarang konflik antara Romahumuziy dan Djan Faridz dinilai sama-sama berasal dari faksi NU? Lantas apakah akan selesai? Tanda-tanda itu sepertinya tak terlihat ketika tawaran islah hanya bertepuk sebelah tangan. Sepuh PPP Kalimantan Selatan HM Mawardi Abbas pun jelas-jelas menolak putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) RI yang dinilainya keputusan politik, bukan hukum.

“Negara kita ini bukan lagi negara hukum, tapi sekarang telah menjelma menjadi negara kekuasaan. Ini terlihat dari putusan PK yang tak dikenal dalam UU Partai Politik (Parpol),” ucap Mawardi Abbas kepada jejakrekam.com, di sela-sela silaturahmi DPW PPP Kalsel bersama sejumlah DPC PPP kubu Djan Faridz di Banjarbaru, Jumat (30/6/2017).

Mantan Wakil Bupati Banjar ini mengatakan jika sudah menjadi negara kekuasaan, maka keputusan hukum itu tak ada artinya. Ia pun menyitir sebuah buku yang lupa judul dan pengarang, ketika masih kuliah di Yogyakarta. “Saya lupa judul dan pengarang buku itu. Namun, dalam buku itu jelas mengatakan ada tiga kategori ketika negara itu akan berubah dan tak tahu arah adalah manusia yang tahu atau pintar, tapi tidak mau berbuat dalam istilah Banjar mambungul. Lalu, manusia tahu tapi pura-pura tidak tahu, serta mereka yagn tidak tahu tapi hendak tahu,” tutur Mawardi Abbas.

Ia menegaskan mendukung sikap DPW PPP Kalsel pro Djan Faridz, HM Sofwat Hadi dan  kawan-kawan yang menolak ajakan islah hanya berdasar keputusan PK Mahkamah Agung dari kubu Romahumuziy. “Kalau mengutip semangat juang Pangeran Antasari yang haram manyarah waja sampai ka puting (wasaka), maka DPW PPP Kalsel memang harus mengambil sikap,” cetus Mawardi Abbas.

Menurutnya, seluruh jaringan PPP yang ada di Kalsel harus kompak dan setia dengan kepemimpinan Djan Faridz sebagai ketua umum yang sah secara hukum. “Kita juga harus menyikapi kondisi Indonesia sebagai negara Pancasila dan negara hukum, justru pada praktiknya melenceng dari sumpah waktu menjabat, seperti sebuah keputusan Menteri Hukum dan HAM bisa mengalahkan Mahkamah Agung,” tuturnya.

Mawardi menyatakan DPW PPP Kalsel mendesak DPP PPP segera menggelar rapat koordinasi nasional (rakornas) dengan mendesak agar Presiden Joko Widodo segera menyikapi apa yang menimpa PPP dengan segera. “PPP harus menolak putusan peninjauan kembali (PK) yang diklaim kubu Romi sebagai kemenangan karena bertentangan dengan UU Parpol,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

 

Penulis Asyikin/Berbagai Sumber
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.