Membangun Tradisi Luhur Demi Menangkal Intoleransi

0

MENGUATNYA intoleransi di Indonesia terjadi sepanjang 15 tahun terakhir ini. Paparan ini disampaikan Ahmad, peneliti sekaligus editor buku Intoleransi, Revitalisasi Tradisi dan Tantangan kebhinnekaan Indonesia, pada diskusi buku yang dihelat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) dengan Majelis Sinode GKE, di Aula Sinode GKE, Jalan Jenderal Sudirman Banjarmasin, Rabu (14/6/2017).

MENURUT Ahmad Suaedy,  banyak contoh revitalisasi tradisi yang signifikan dalam membangun toleransi. “Indonesia kaya akan tradisi dan jika terus dibangun, maka toleransi akan terjaga. Dalam setiap masyarakat, selalu saja ada tradisi yang sangat kuat dalam membangun toleransi, karena kebhinnekaan itu sesuatu yang melekat pada bangsa Indonesia,” ujar Suaedy dalam diskusi dan bedah buku yang dihadiri komunitas lintas iman ini.

Dalam diskusi ini yang dihadiri 100 peserta lebih ini juga diungkapkan berbagai tradisi agama dan budaya dalam membangun toleransi seperti dibeber banyak tokoh agama yang hadir, termasuk otokritik atas prilaku umat beragama yang cendrung  intoleran sehingga menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar agama.

Senada itu, Ketua Umum Sinode GKE, Pendeta DR Wardinan S Lidim mengungkapkan toleransi yang terbangun antara Islam dan Kristen di Tanah Kalimantan. Menurut Wardiman, kedatangan ajaran Kristen pun tak lepas dari bantuan Kesultanan Banjar. “Bayangkan saja, Sinode GKE berikut gereja yang ada di Banjarmasin ini sudah terbangun selama 168 tahun, tak ada riak protes. Ini menggambarkan bahwa toleransi yang terbangun antara umat Islam dengan Kristen di Kalimantan sangat terjaga. Begitupula, dalam tradisi rumah betang atau balai adat, jelas menggambarkan kerukunan dan kebersamaan,” tutur Wardinan.

Di satu sisi, Wardinan tak menepis jika di tubuh umat Kristiani sendiri sempat terjadi perbedaan yang sangat mencolok, hingga terjadi perebutan umat. Namun, menurut dia, kini lambat laun seiring dengan perkembangan pendidikan, telah mereda. “Sekali lagi, pendidikan itu bisa menjadi pisau bermata dua, satu sisi bisa membangun karakter, namun sisi lain juga bisa memicu intoleransi. Makanya, pendidikan yang baik itu dari sebuah tradisi luhur yang mengutamakan toleransi,” kata tokoh Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) ini.

Sementara itu, Direktur LK3 Rafiqah juga mengatakan kerjasama yang telah dibangun harmonis bersama Pendeta Jhon Wattimena dalam membangun hubungan antar agama di Kalimantan telah berlangsung 7 tahun lamanya. “Kegiatan bersama ini harus terus terjalin, sehingga terbangun saling pengertian dan toleransi di antara umat beragama, sehingga terjaga kedamaian daerah,” tambah Pendeta Jhon Wattimena.(jejakrekam)

Penulis : Didi G Sanusi

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.