Fenomena Supardi, Manusia Gerobak yang Termarginalkan

0

BAK syair lagu Gubuk Derita yang dipopulerkan penyanyi lawas, Ida Laila pada dekade 80-an, dan dirilis ulang Hamdan ATT-Yusnia, sepertinya bisa menggambarkan kehidupan keseharian Supardi (72 tahun) bersama istrinya, Wardiah (62 tahun). Mereka ini satu di antara ‘manusia gerobak’ yang marak di saat bulan suci Ramadhan.

FENOMENA sosial di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tak lepas dari faktor kemiskinan kota serta kesenjangan strata ekonomi makin terbuka. Sementara, Supardi dan bersama istrinya merupakan contoh masyarakat urban yang harus tinggal di sebuah gubuk derita di seputaran Taman Kamboja, Jalan Anang Adenansi, Banjarmasin. Gubuk berukur 2 x3 meter itu menjadi wadah peneduh sepanjang siang dan malam, sepasang sejoli yang sudah menginjak usia senja ini.

Mereka pun mengandalkan memulung sampah berharga dari kompleks ke komplek perumahan lainnya. Atau dari satu kampung ke kampung lainnya. Ya, pemulung dengan ditemani gerobak bututnya, Supardi dan Wardiah meniti hidup di masa tuanya dengan mengais rezeki dari tumpukan sampah. “Dari memulung kardus dan sampah-sampah berharga lainnya, kami memang dapat penghasilan Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu sehari. Kami menjualnya di daerah Kuin dan Belitung,” kata Supardi kepada jejakrekam.com, Jumat (10/6/2017) dinihari.

Ketika tenaga sudah berkurang jauh, Supardi mengaku memang sangat lelah dari tempat memungut sampah, dan kemudian menjualnya agar menjadi lembar rupah ke tempat pengepul. Lagi-lagi gerobak itu menjadi ‘orang ketiga’ di kehidupan perkawinan yang menempuh angka 55 tahun itu. “Kami sudah 55 tahun bermukim di Banjarmasin. Saya asalnya dari Sumatera. Kalau istri saya ini dari Sulawesi,” ucap Supardi, yang hampir tiap malam nongkrong di kawasan Masjid Raya Sabilal Muhtadin, tepatnya di seberang rumah jabatan Gubernur Kalsel, Jalan RP Suprapto, Banjarmasin.

Ia mengaku sengaja keluar di saat bulan Ramadhan, karena kedermawan warga Banjarmasin ketika bulan suci datang sangat tinggi. Sejak pukul 03.00 WITA, Supardi dan Wardiah mengaku sering mendapat nasi bungkus untuk menu sahur. “Alhamdulillah, kami terkadang dapat dua bungkus nasi. Terkadang hanya satu bungkus, jadi bisa saling berbagi,” ujar Supardi, yang tampak masih romantis dengan sang istri ini.

Ironis memang. Supardi mengaku dalam sehari itu, terkadang mereka hanya mampu makan satu sekali, berbeda pada jamaknya orang yang bisa makan 2 hingga 3 kali sehari. Apalah daya bagi Supardi, ia hanya mengandalkan ototnya yang sudah kian mengendor untuk memungut sampah plastik dan kardus untuk dikonversi menjadi uang. “Sekarang ini, sudah banyak yang menjadi pemulung. Jadi, sudah banyak saingan,” kata Supardi, terkekeh.

Dia pun tetap berharap banyak agar pemerintah bisa memperhatikan nasib mereka yang harus hidup dari belas kasihan dan berjuang dari tumpukan sampah. Harapan hanya satu, ia bersama istrinya bisa mendapat tempat yang layak untuk keseharian, ketimbang harus tinggal di gubuk di tengah kota di bawah gemerlapnya kota metropolitan Banjarmasin.(jejakrekam)

Penulis :  Asyikin

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Asyikin

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.