Kehadiran UU Jaskon Bikin Kontraktor Daerah Bisa Bernafas Lega

0

SELAMA ini, ketakutan para pelaku usaha konstruksi adalah ketika proyek yang digarap itu bermasalah, maka selalu berurusan dengan hukum. Nah, hadirnya UU Jasa Kontruksi Nomor 2 Tahun 2017 yang berlaku efektif sejak 20 Januari 2017 lalu, membawa angin segar bagi para kontraktor di daerah.

SAMBUTAN hangat pun disuarakan H Andi. Seorang kontraktor di Kabupaten Banjar ini mengaku ada hal yang positif dalam penerapan UU Jasa Konstruksi (Jaskon) yang baru tersebut. “Kini, kami mendapat perlindungan hukum. Sebab, selama ini, yang selalu dikhawatirkan para kontraktor adalah ketika harus berurusan hukum ketika proyek itu dianggap bermasalah,” kata H Andi kepada jejakrekam.com, Sabtu (13/5/2017).

Ia mengaku merasa lega dengan penerapan UU Jaskon tersebut, khususnya para pelaku usaha konstruksi kelas menengah ke bawah yang mendominasi proyek yang disediakan pemerintah daerah di Kalimantan Selatan. “Sekarang, kami sudah punya sandaran hukum yang lebih pasti,” ucapnya.

Senada itu, praktisi hukum Bujino A Salan pun mengungkapkan salah satu poin penting dalam UU Jaskon itu adalah jika terjadi wan prestasi pada pekerjaan atau proyek yang digarap, tanpa harus dibawa ke ranah hukum pidana, tapi cukup diselesaikan lewat perdata. “Selama ini, dari pengalaman yang ada, banyak kontraktor atau pelaku usaha konstruksi yang harus dibawa ke ranah hukum pidana. Padahal, awalnya pola kontrakt kerja adalah bernuasa perdata, jadi seharusnya juga selesai perdata, bukan ditangani pidana,” kata Ketua Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) Kalimantan Selatan ini.

Dengan berbekal perjanjian kontrak kerja antara penyedia dan pengerja proyek, Bujino mengatakan dengan adanya UU Jaskon itu bisa memberi kepastian hukum demi terciptanya iklim kerja konstruksi yang lebih pasti.

“Contohnya adalah ketika proyek itu belum selesai digarap atau di luar kontrak, maka menjadi kewajiban bagi penyedia jasa seperti pemerintah daerah untuk menegur pelaku usaha. Bisa lewat surat teguran selama tiga kali, jadi dalam perkara ini jelas lebih kuat perdata, bukan pidana,” cetus Bujino.

Nah, menurut dia, jika terbukti perusahaan kontraktor atau pelaku usaha tak bisa menyelesaikan proyek yang ada, maka pemberi kerja seperti pemerintah atau swasta bisa mencairkan dana jaminan dari kontraktor. “Begitupula, jika uang jaminan itu ternyata tak cukup, maka pemberi pekerjaan bisa menyita aset-aset yang dimiliki pengusaha itu,” kata Bujino.

Intinya, masih menurut dia, lembaga atau instansi pemberi kerja harus benar-benar selektif dalam memilih kontraktor yang bertanggungjawab. “Dari sini, jelas para pemberi kerja jangan lagi sembarangan memberi kerja. Upaya selektif bisa melalui mekanisme lelang tender yang kompetitif,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis   : Igam

Editor     : Didi G Sanusi

Foto       : Didi G Sanusi

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.