Benarkah Kemenangan Oke Oce adalah Kemenangan Demokrasi?

0

HARI ini dan seterusnya kita akan menyaksikan persidangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama yang ditayangkan di layar televisi. Yang menjadi pertanyaan kita semua adalah ke mana perginya para pendemo itu, apakah kontraknya sudah selesai atau memang tujuannya sudah tercapai?

NAH, kalau itu menjadi tujuan mereka, tentu begitu naifnya kita. Agama kita jangan jadi komoditas perdagangan dengan politik. Allahu Akbar, dan kita yang berakal pasti paham betul bahwa tafsir Surat Al Maidah 51 masih ikhtilaf atau multitafsir dan menjadi perdebatan dalam ikhtilaf di umat Islam sendiri.

Ironis memang, jika sebuah perbedaan itu akhirnya membuat kita terpecah belah, dan (sudah) bisa dipastikan setiap hari kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW pasti akan saling ‘bunuh’. Di mana rasa malu kita kepada Rasulullah SAW yang sudah bersusah payah mengajarkan kita akhlak, dan membimbing kita bagaimana bertolerasi? Hal ini menurut saya adalah benih-benih kehancuran NKRI.

Pola-pola yang terjadi di kancah politik DKI 1, tentu saja bisa ditiru di daerah. Tak mengherankan, bagi seseorang yang ingin menjadi gubernur, walikota atau bupati tentu akan mencari beragam cara dengan menggunakan agama sebagai bungkusnya. Bisa jadi nantinya seorang ulama dipromosikan menjadi pemimpin. Sementara, beliau tidak memiliki kompetensi dalam memimpin daerah. Akhirnya, ulama yang menjadi pemimpin daerah itu justru dikendalikan para ‘durjana’ yang mau mengambil dari kepemimpinan beliau.

Memimpin suatu daerah tidak cukup dengan ilmu agama, terlebih lagi dengan pemahamannya yang dangkal. Sebab, perlu sebuah proses yang cukup, sehingga seseorang yang mampu mengaktualisasikan agama dalam sistem pemerintahan. Nah, ketika itu, yang terjadi kita semakin rentan dengan yang namanya perbedaan dan perpecahan.

Lantas siapa yang diuntungkan dengan model politik DKI? Tentu saja, mereka yang biasa suka mengkafirkan orang. Yang menganggap sebuah perbedaan itu bukan suatu rahmat, tapi sebuah perjuangan agama yang harus disatukan. Mereka inilah sesungguhnya yang menjadi pemenangnya. Dia sudah bisa mempetakan gerakannya. Dua sudah paham betul kondisi untuk umat Islam Indonesia, serta dia sudah tahu ulama model seperti apa yang bisa diajak bekerjsama.

Ormas Islam bernama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bagian dari pendiri bangsa ini sekarang juga terbelah dalam kondisi terpecah secara pemikiran. Ada yang kelompok yang mempertahankan model kepemimpinan pendirinya yang begitu mencintai bangsa ini, sehingga mampu menahan diri daripa memperbesar perbedaan dengan merangkul semua anak bangsa. Tujuannya, untuk menjaga bersama NKRI.

Tentu yang akan menjadi target pertama dan mereka selesaikan adalah NU dengan model Said Aqil Siraj. Dan, mereka akan menggantinya dengan NU Garis Lurus, dengan memvonis model NU Said Aqil Siraj adalah Nu yang sangat toleransi dengan Syiah. Lantas benarkah Syiah itu sesat? Jawabnya tentu tidak semua Syiah itu sesat. Buktinya, dalam Konferensi Organisasi Dunia Islam (OKI), justru Syiah itu diputuskan sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Walaupun tak bisa dipungkiri ada Syiah yang sesat, dan pendapat itu berasal dari kalangan Syiah yang tak mengakui keberadaan kelompok lain dalam mazhab atau pemahaman mereka.

Selanjutnya, kita akan melihat nanti dalam Muktamar NU ke depan, jika ormas Islam terbesar di Indonesia ini tidak melahirkan tokoh-tokoh seperti pendahulunya, maka bisa dipastikan siapa yang mampu menjaga kebhinnekaan ini? Faktanya, sesama umat islam saja akan terus ribut, ya tentang perbedaan soal Maulid Nabi, tahlil dan sebagainya. Dan sasaran akhirnya nanti, mereka tak lagi menempatkan alawiyin atau habaib sebagai mahkota yang menjaga kemurnian agama datuknya. Mereka menganggap habaib itu sama dgn manusia biasa, padahal mereka itu luar biasa. Inilah yang seharusnya menjadi renungan kita bersama, jangan lagi mau berpecah-belah oleh sesuatu yg memang ikhtilaf. Jangan mau lagi memasukkan agama dalam wilayah politik transaksional.

Ulama sejatinya harus memberikan kesejukan, bukan  pembakar amarah. Ulama sepatutnya duduk pada porsinya mengajarkan ilmu agama dan akhlak, bukan sibuk bermain politik.  Yang saya sangat yakin bahwa hanya sedikit di antara ulama kita yang paham tentang fikih syiasah dalam Islam. Wallahu’alam.(jejakrekam)

Penulis   : Muhammad Rafi’e Muksin

Wakil Ketua DPW PPP Kalsel Djan Faridz

Ilustrasi  :  People Good

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.