Pejabat Publik Pegang KONI Berpotensi Jadi Temuan Tindak Pidana

1

POTENSI adanya calon tunggal dalam Musyawarah Olahraga Provinsi (Musorprov) April 2017 nanti untuk memilih ketua umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kalimantan Selatan periode 2017-2022, sangat terbuka. Ini setelah, calon petahana yang juga anggota DPR RI asal Partai Golkar, Bambang Heri Purnama dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai calon ketua.

APAKAH tak ada halangan dari regulasi yang berlaku di dunia keolahragaan secara nasional? Terlebih lagi, selama ini, alokasi dana untuk pembinaan dunia olahraga yang disuntik dalam APBD Kalsel tiap tahunnya mencapai Rp 40 miliar berformula dana hibah.

Nah, mengacu pada Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional berbunyi bahwa pengurus komite olahraga nasional, provinsi, kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan politik.

Apa itu jabatan struktural? Dalam UU Nomor 3/2005 itu menegaskan bahwa suatu jabatan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil (PNS) dan militer dalam rangka memimpin satuan organisasi negara atau pemerintah, antara lain jabatan eselon di departemen atau lembaga pemerintahan non departemen.

Masih dalam ketentuan UU Sistem Keolahragaan Nasional itu dijelaskan jabatan politik adalah yang diperoleh melalui pemilih langsung antara lain presiden/wakil presiden, para anggota kabinet, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD, hakim agung, anggota komisi yudisial, kapolri dan panglima TNI.

Kemudian, UU Nomor 3/2005 ini dijabarkan lagi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Dalam PP ini justru sangat tegas melarang ketua KONI,  bahkan hingga pengurusnya bersifat mandiri tidak terikat jabatan struktural dan jabatan publik. Aturan itu terdapat dalam Pasal 56, dan apabila terjadi pelanggaran, maka dalam Pasal 123 ayat (6) PP 16/2007, bahwa menteri dapat memfasilitasi pemilihan pengurus baru. Masih dalam pasal yang sama ayat 7, apabila ayat 6 tidak diselenggarakan maka menteri dapat merekomendasi kepada pihak terkait dengan pendanaan untuk menunda penyaluran dana kepada KONI.

Tak hanya itu, dalam pelarangan terhadap pejabat publik atau pejabat politik menduduki jabatan ketua atau pengurus KONI ditegaskan kembali melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bernomor K-800/133/57 tertanggal 14 Maret 2016.

Dalam surat Mendagri itu, ada 7 provinsi yang diminta mencabut surat keputusan karena melibatkan pejabat struktural dan pejabat politik. Yang menjadi dasar lainnya adalah ditolaknya judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-v/2007 terhadap uji materi pasal 40 UU 03/05 dan pasal 56 PP 16/07.

Lalu, dalam surat Mendagri juga membatalkan pengangkatan pengurus KONI yang memiliki jabatan publik dan jabatan politik itu bersandar pada surat edaran Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK) Nomor B-903/01-15/04/2011 tanggal 4 April 2011 tentang hasil kajian KPK yang menemukan adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah  dapat menimbulkan konflik kepentingan. Nah, jika nanti suntikan dana hibah dari APBD itu justru dikelola pejabat struktural atau politik, bisa nanti masuk temuan tindak pidana korupsi.

Nah, jika 7 provinsi sudah dibatalkan Mendagri untuk pengangkatan pejabat publik dan struktural, bagaimana dengan pencalonan seorang anggota parlemen Senayan Jakarta? Pengamat hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Daddy Fahmanadie menegaskan agar aturan baku itu segera dijalankan KONI Kalsel dalam menghelat Musorprov April 2017 ini. “Nah, jika nanti tak dilaksanakan berpotensi menjadi temuan dalam tindak pidana korupsi. Sebab, jika nantinya ada pejabat publik atau politik yang menjadi ketua KONi, maka dana hibah yang dicairkan bisa menjadi penyimpangan penggunaan anggaran. Ya, arahnya pada penyalahgunaan wewenang,” tutur jebolan magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Bahkan, bukan hanya penerima, Daddy mengatakan sang pemberi dalam hal ini Pemprov Kalsel pun bisa dianggap melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. “Apalagi, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review. Ini artinya, putusan MK itu sudah kuat dan tak bisa ditawar  lagi. Jika tetap nekad, ya potensi terjerat kasus tindak pidana sangat terbuka,” tutur Daddy.

Sedangkan, Inspektur Provinsi Kalsel Awi Sundari enggan memberikan komentar. Ia mengaku sebagai pemeriksa internal belum memeriksa lebih lanjut dana hibah kepada lembaga non pemerintahan.(jejakrekam)

Penulis  : Wan Marley

Editor    :  Didi GS

Foto      : Wan Marley

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2017/03/23/pejabat-publik-pegang-koni-berpotensi-jadi-temuan-tindak-pidana/
1 Komentar
  1. I would like to thank you for the efforts you have put in writing this blog.
    I’m hoping to check out the same high-grade blog posts
    from you in the future as well. In fact, your creative writing abilities has encouraged me to get
    my own, personal blog now 😉

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.