Mencari Tokoh Pengganti Pemeran Raja di Workshop Mamanda Banjar

0

REGENERASI dalam seni tradisi Mamanda perlu terus dijaga. Hingga kini, seiring waktu silih berganti para pelakon drama tradisional khas Banjar yang membawa kisah-kisah kolosal dan monoton dengan alur cerita kerajaan, seperti tokoh baku Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama dan Kedua, Khadam (Badut/Ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri) di era kejayaan masa Kesultanan Banjar itu, selalu ada yang datang dan pergi.

WAHANA untuk melestarikan seni pertunjukan khas Banjar ini digelar UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan dalam Workshop Teater Tradisi sejak Rabu (8/3/2017) hingga Kamis (9/3/2017).

“Workshop ini bisa menjadi wahana pelestarian dan pembinaan kesenian tradisi daerah. Sebab, seni teater Mamanda telah diakui sebagai warisan tak berbeda Indonesia,” ujar Kepala UPTD Taman Budaya Kalsel, H Fahrurazie di Banjarmasin, Rabu (8/3/2017).

Acara itu pun dihadiri sekitar 50 perserta berasal dari mahasiswa dan komunitas teater guna merumuskan formulasi regenerasi kesenian lakon Mamanda. “Ya, saya melihat cukup besar minat seniman muda untuk mengikut workshop ini. Sebab, regenerasi teater perlu dihidupkan, karena sudah banyak melalangbuana tampil hingga ke level nasional. Ini harus terus dijaga,” kata Fahrurazie.

Ia mengakui banyak seniman teater telah meninggal dunia atau sudah berumur, sehingga dalam workshop itu diharapkan bisa melahirkan generasi muda yang memahami karakter figur dan tokoh-tokoh yang  ada dalam pakem Mamanda.

“Contohnya, tokoh yang memerankan sebagai raja untuk setingkat lakon yang biasa diperankan almarhum HM Zaini dari Grup Teater Mamanda Banjarmasin sangat sulit seperti sekarang. Nah, dalam workshop ini juga diadakan praktik pagelaran Mamanda dari Grup Teater Mamanda Banjarmasin bagi peserta,” tutur Fahrurazie.

Untuk mempertajam pemahaman karakter Mamanda, dihadirkan para seniman dan budayawan seperti YS Agus Suseno, Abdul Rasyid, Abdul Syukur dan Firhansyah.

“Untuk istilah Mamanda Periuk dari Margasari, Kabupaten Tapin serta Mamanda Tubau dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda,” ujar Abdul Rasyid, narasumber workshop Mamanda.

Ia mengungkapkan para pemain Mamanda memiliki pakem dasar yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap pertunjukan yakni pemain yang tampil harus ganjil, kemudian ada sidang kerajaan dengan diselingi tarian dan musik panting. “Nah, kekhasan lakon teater Mamanda semacam ini harus dipertahankan, meski ada bumbu-bumbu kekinian yang harus dicamkan untuk generasi pelakon selanjutnya,” imbuh Rasyid.(jejakrekam)

Penulis   : Fadel Karli

Editor    : Didi GS

Foto      : Koleksi YS Agus Suseno

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.