Tetap Setia di Bawah Bayang-Bayang Larangan Impor

0

SEJAK pemberlakuan pelarangan impor pakaian bekas ke Indonesia, benar-benar membuat para pedagang di kawasan Jalan Pangeran Antasari (dulu Jalan Jati) di Banjarmasin, harus bertahan di tengah merosotnya keuntungan.

DALAM Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas (“Permendag 51/2015”) disebutkan bahwa pakaian bekas asal impor berpotensi membahayakan kesehatan manusia, sehingga tidak aman untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan untuk melindungi kepentingan konsumen, perlu adanya larangan impor pakaian bekas  yang telah diatur dalam UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014.

“Masa gemilang berjualan pakaian bekas ini sejak 2000 hingga 2013. Setelah adanya pelarangan impor, harga satu bal pakaian bekas mahal sekali,” ujar Amak, seorang pedagang pakaian bekas di Jalan Pangeran Antasari Banjarmasin, Selasa (7/2/2017) malam.

Amak tak sendiri yang masih setia berjualan barang-barang eks Tiongkok, Jepang, Korea dan Malaysia itu. Tercatat, ada 10 orang lebih pedagang yang masih menjajakan pakaian bekas di atas halaman rumah toko (ruko), serta pinggiran jalan.

“Sekarang kualitas barangnya jelek, harga belinya mahal. Terpaksa yang kami jual sedikit tinggi. Bayangkan, untuk satu bal pakaian bekas sudah seharga Rp 8 juta, kalau dulu Rp 3 juta per karung bal,” ucap Amak.

Makanya, Amak dan kawan-kawannya seperti sudah sepakat membandrol harga berkisar Rp 50 ribu ke atas untuk celana jeans bermerek seperti Levi’s, Lee, dan lainnya. Sedangkan, baju kaos dan hem ditawarkan dengan harga beragam. “Tiap tahun, ya keuntungannya terus menurun. Bahkan, bisa anjlok sampai 50 persen,” ujarnya.

Pakaian bekas yang kebanyakan masuk ke Banjarmasin ini disuplai dari Makassar. Menurut Amak, pasokan pakaian bekas yang ada ini didrop oleh pedagang besar, sehingga tak mengetahui apakah berkualitas atau tidak. “Biasanya, mereka yang mengantar ke sini, jadi bukan kami yang mengambil ke pelabuhan,” ucap Amak. Ia mengakui tak tahu menahu, apakah barang bekas yang masuk ke Banjarmasin berasal dari Makassaar, Tanjungbalai (Sumatera) atau Jakarta. “Sekarang ini, yang dipikirkan pedagang antara harga dan kualitas barang jauh tak seimbang,” kata warga Jalan Pekapuran Raya ini.

Ia masih teringat kejayaan pakaian bekas yang ada di kawasan Jalan Jati, yang mampu bersaing dengan para pedagang Pasar Tungging di Jalan Belitung. “Ya, di awal  2000, kami tetap bertahan di sini, walau di Pasar Tungging sangat banyak menawarkan pakaian bekas berkualitas,” tuturnya.

Apakah Anda dan kawan-kawan akan tetap bertahan sampai kapan? Amak mengatakan tak tahu persis. Sebab, sejak 2000 hingga awal 2017 ini, para penggemar pakaian bekas masih ada, bahkan bisa meningkat di hari-hari tertentu seperti menjelang Lebaran Idul Fitri. “Terpenting itu, walau untung sedikit yang penting barang laku,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis  : Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.