Perlunya Menumbuhkan Kembali Budaya Malu Wakil Rakyat
VIRUS penyakit malas tampaknya sudah melekat pada sebagian anggota dewan dari DPR RI, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. Akhirnya, stigma anggota dewan terhormat tersemat kerap dikaitkan dengan citra yang negatif.
BETAPA tidak, para wakil rakyat yang dipilih dalam pesta politik lima tahunan ini memang menerima tunjangan gaji yang lumayan besar. Ini belum lagi ditambah sejumlah fasilitas lainnya. Di satu sisi, ternyata mereka malah sering ‘mangkir alias bolos meninggalkan tugasnya dalam mengemban amanah rakyat.
Ironisnya, perilaku suka bolos ternyata tidak hanya dilakoni anggota dewan senior yang sudah beberapa kali menikmati kursi empuk di lembaga terhormat itu, tapi mulai menjangkiti sejumlah anggota dewan yang baru.
Indikasi penyakit malas alias suka mangkir anggota dewan ini setidaknya terlihat bukan hanya pada saat rapat pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda). Namun, juga pada saat rapat yang digelar alat kelengkapan dewan.
Belum lagi, soal penenggakan disiplin anggota dewan untuk menghadiri sidang paripurna yang hampir setiap saat berlangsung, terkadang tidak pernah tepat waktu. Akibatnya, rapat forum tertinggi dalam mengambil keputusan di lembaga perwakilan rakyat ini pun sering molor.
Payahnya, Badan Kehormatan (BK) yang menjadi garda terdepan dalam bertugas mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan moral anggota dewan, seakan tak berdaya. Padahal, sejatinya mereka ditugaskan menjaga martabat dan kehormatan dewan. Tapi ya itu tadi, tampaknya mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Malah, selama melaksanakan tugasnya BK lebih banyak terkesan tidak memiliki kewibawan sama sekali. Apalagi sekadar memberikan teguran. Ironinya, memang. Apalagi, malah mereka yang duduk menjadi anggota BK juga ikut-ikutan suka mangkir. Tidak ‘bertaringnya’ salah satu alat kelengkapan dewan itu tambah diperparah oleh sikap fraksi di dewan yang juga terkesan mengamini budaya malas massal, dengan turut melakukan pembiaran.
Terkait masalah penegakan disipilin ini, dalam tata tertib (tatib) dewan sudah jelas diatur agar setiap anggota dewan memiliki rasa tanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat .
Kendatipun dalam tatib dewan itu, tidak ada aturan setiap anggota dewan diharuskan setiap hari harus ngantor. Namun, setidaknya, setiap anggota dewan selalu menghadiri setiap rapat yang digelar, terlebih lagi sidang paripurna yang menjadi forum tertinggi mengambil keputusan di lembaga legislatif.
Sungguh ironisnya memang. Ini lantaran perilaku anggota dewan itu sangat bertolak belakang ketika mereka melaksanakan kunjungan kerja (kunker) atau studi banding. Betapa tidak, karena agenda ‘bajalanan’ ini seluruh anggota dewan sangat disiplin. Bahkan, tidak ada satupun dari mereka yang mau ketinggalan.
Meski saat berada di tempat tujuan, tidak sedikit penyakit sejumlah anggota dewan yang suka bolos ini kembali kambuh dengan tidak sepenuhnya menghadiri pertemuan, sebagaimana tujuan utama dari studi banding tersebut. Melihat perilaku adanya anggota dewan yang suka bolos ini, sulitnya memang untuk menyadarkan mereka. Apalagi hal jika penyakit itu sudah menjadi tabiat dan kebiasaan. Sementara dari segi aturan sendiri tampaknya masih setengah-setengah, sehingga kelemahan ini dijadikan celah oleh anggota dewan untuk suka membolos.
Jujur saja, karena untuk memberikan sanksi tegas kepada anggota dewan yang suka bolos terlalu ringan. Menurut UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang kini oleh DPR RI kembali digulirkan direvisi sanksi untuk legislator malas terancam sanksi berat, jika tidak menghadari rapat selama enam kali berturut-turut. Yang bersangkutan dapat diberhentikan dari keanggotan dewan. Tapi, kalau tidak masuk lima kali dan masuk sekali itu diartikan tidak melanggar. Inilah celah yang mungkin selalu dimanfaatkan oleh anggota dewan terhormat untuk mangkir alias tidak masuk kantor.
Terlepas dari lemahnya aturan, integritas dan disipilin tinggi pada diri setiap anggota dewan haruslah tertanam dalam diri. Apalagi, jika menyadari bahwa mereka telah dipercaya untuk mengemban amanah yang telah diberikan oleh rakyat. Masalahnya, karena tanpa aturan sekalipun jika orang punya kesadaran dan tanggung jawab bahwa jabatan adalah amanah, maka anggota dewan tidak akan seenaknya dalam melaksanakan tugas.
Namun, sayangnya sebagaimana sering menjadi sorotan bahkan bukan rahasia lagi, jika dalam mengikuti rapat-rapat penting membahas berbagai persoalan menyangkut kepentingan rakyat hanya beberapa anggota dewan saja yang berhadir. Banyak, memang alasan dikemukakan atas ketidak hadiran anggota dewan, sehingga mereka bolos menghadiri rapat. Mulai sibuk mengurusi bisnis lain, hingga terkait rasa minder karena kualitas diri yang tidak mumpuni untuk telibat aktif dalam topik yang sedang dibahas dalam rapat.
Sekali lagi terlepas, berbagai alasan tersebut, tampaknya perlu kiranya belajar menanamkan pada diri budaya malu. Ya, malulah pada rakyat yang telah memilih hingga mendudukan anda di kursi empuk. Malulah, jika anda sebagai anggota dewan tidak ingin dicap hanya sekedar makan gaji buta dari uang rakyat.(jejakrekam)
Penulis : Nida Hidayati
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
Ilustrasi : Heta News