Trend Perkara Korupsi Menurun di Kalimantan Selatan?

0

 

APAKAH ada kesadaran kolektif dari para pelaku koruptif di Provinsi Kalimantan Selatan, sehingga perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang diadili di Pengadilan Tipikor PN Banjarmasin, menurun?

HAKIM adhoc Pengadilan Tipikor PN Banjarmasin, Dana Hanura mengakui sepertinya ada kesadaran dari para pejabat atau pihak terkait, agar tak lagi terjerat dengan kasus korupsi. Fakta ini, didasarkan Dana Hanura, dengan trend perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan yang terus menurun.

“Pada 2015 lalu, perkara korupsi yang dibawa ke persidangan mencapai 60 perkara lebih. Sedangkan, pada 2016, menurun sekitar 40 hingga 50 perkara. Ya, kami menganggap hal ini ada bentuk kesadaran,” ujar Dana Hanura, usai diskusi anti korupsi dan good governance bertajuk masa depan pemberantasan korupsi paca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 25/PUU-XIV/2016, di aula Gusti Iberahim Hasan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Kamis (2/2/2017).

Ia mengakui selama ini kasus korupsi yang ada di Kalimantan Selatan masih bersifat normatif. Artinya, perkara yang disidik penyidik kepolisian dan kejaksaan itu masih seputar proyek pengadaan barang dan jasa dari pemerintah daerah atau badan usaha milik negara atau daerah.“Untuk perkara suap atau gratifikasi, hampir-hampir belum ada. Mungkin, trend ini ada yang sudah sadar,” ujar advokat senior ini.

Mengacu pada kasus penyalahgunaan wewenang mantan Bupati Kotabaru, Irhami Ridjani, dinilai Dana Hanura merupakan kasus yang juga bertalian dengan pasal-pasal korupsi seperti tertuang dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor Nomor 20/2001 jo UU Nomor 31/1999.

“Tapi harus ingat, kasus suap menyuap yang uangnya berasal dari perusahaan, bukan berasal keuangan negara jika bisa mengarah ke tindakan korupsi. Makanya, kelahiran putusan MK itu, jika sebelumnya dalam pertimbangan hukum hakim bisa mengukur pada potensi kerugian (potential lost), sekarang sudah mengarah ke kerugian yang riil. Ini artinya, harus berdasar hasil audit atau hitungan yang nyata,” tutur Dana Hanura.

Menurutnya, dalam putusan nomor 25/PUU-XIV/2016, MK menghapus kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan negara’ yang tercantum dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. “Kami sebagai aparat penegak hukum, tentu mengajak semua komponen untuk memiliki persepsi hukum yang sama. Sejak adanya putusan MK, perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara itu harus jelas, bukan lagi bicara potential lost,” ujarnya.

Dana mengakui dulu sebelum lahirnya putusan MK, penegak hukum akan mudah mengkriminalisasi seseorang, apakah ada unsur perbuatan merugikan keuangan negara/daerah atau tidak, penyidikan perkara korupsi bisa dilanjutkan hingga dibawah ke meja hijau. “Nah, sekarang tidak lagi, unsur kerugian negara itu harus riil. Jadi, dalam perkara korupsi harus diketahui terlebih dulu kerugian negaranya,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.