Putusan MK Tak Boleh Padamkan Gerakan Anti Korupsi

0

BAGAIMANA masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia, pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 25/PUU-XIV-2016? Mahkamah tertinggi yang bisa membatalkan dan mengoreksi perundang-undangan itu, menyatakan delik formil yang terdapat dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor Nomor 31/199 jo UU Nomor 22/2001, diubah menjadi delik materiil.

UNTUK mengupas hal itu, Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance Universitas Lambung Mangkurat (PARANG ULM) menggandeng Tim Rekam Sidang Tipikor Fakultas Hukum ULM menggelar mimbar anti korupsi dan good governance. Nah, frasa ‘dapat’ dalam delik formil kedua pasal UU Tipikor ini, dianggap MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dari putusan MK itu, unsure merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai sebuah perkiraan (potential loss), tetapi telah dipresentasikan sebagai benar-benar terjadi atau nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi.

Namun, di mata Ketua PARANG ULM, Ahmad Fikri Hadin, putusan MK bukan masa suram penegakan hukum bagi para pelaku tipikor. Ia memberi empat catatan penting yakni semangat perjuangan anti korupsi dan memeranginya harus terjaga. “Secara optik hukum administrasi, putusan MK ini membuat pentingnya hukum administrasi dalam mengawal terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih. Sebab, karakter hukum administrasi bersifat instrumental meliputi asas efisiensi (doelmatigheid) dan asas efektivitas (doeltreffenheid) dengan menitikberatkan apda sisi preventif. Berbeda, dengan hukum pidana yang berkarakter ultimun remedium (sanksi pamungkas),” tutur dosen muda FH ULM ini.

Fikri juga mengingatkan reformasi penegakan hukum tipikor, terutama bagi KPK dan penegak hukumnya. Selama ini, Fikri menilai aparat penegak hukum sangat bergantung pemeriksa keuangan berdasar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Nomor 4 Tahun 2016. “Lembaga yang ditunjuk berwenang untuk kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Makanya, aparat penegak sekarang dituntut lebih profesional,” ujarnya. Dari entry point itu, Hadin mengajak kelahiran putusan MK itu bisa diwujudkan dalam tindakan nyata untuk melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap berpegang pada sikap anti korupsi.

“Bagi saya, telah terjadi inkonsistensi dalam frasa menguntungkan diri sendiri/orang lain atau suatu korporasi dengan unsur akibat dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Hal itu jika dimaknai dengan potential loss. Makanya, putusan MK itu meluruskan delik kerugian keuangan negara secara nyata (actual loss),” timpal pakar hukum pidana FH ULM, Helmi SH MHum.

Sedangkan, DR Ichsan Anwary lebih menyorot penghapusan frasa ‘dapat’ dalam rumusan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. “Sebab, kerugian negara itu tidak boleh dalam kacamata berandai-andai. Ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum. Jadi, efek kejut dari putusan MK ini tak perlu dirisaukan,” ujar pakar hukum administrasi ini.

Dalam giliran pandangan hukumnya, hakim tipikor PN Banjarmasin Dana Hanura SH MH menilai putusan MK itu mengharuskan para penyidik, penuntut umum dan hakim harus menambah pekerjaannya. “Mau tak mau, kami harus mengubah alur putusan. Jadi, kami harus teliti apakah dalam perkara korupsi itu benar-benar ada unsur kerugian negaranya untuk dibuktikan,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Riza

Editor   : Didi GS

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.